"Bahkan saat namamu terdengar, luka itu kembali berdarah meski telah lama ku tutup rapat."♡
Langit masih sedikit gelap — mentari pagi belum juga menampakkan diri setelah semalaman hujan — sepertinya ia sedikit merajuk, gara-gara hujan semalam — cuaca hari ini menjadi semakin dingin lebih dari biasanya. Namun kesejukannya tak pernah hilang — suasana seperti ini yang membuat tubuh rasanya ingin selalu bersembunyi didalam selimut tebal.
Rumah kecil minimalis — tipe rumah yang banyak disukai para ibu-ibu muda, rumah yang kecil dengan segala perabotannya yang juga minimalis tetapi harganya fantastis.
Mematikan api kompor, Selena sudah menyiapkan satu buah piring yang siap diisi dengan nasi goreng kecap ditambah telur ceplok juga potongan sosis diatasnya. "KAI — oh, udah disitu." Suara nyaringnya hampir membuat mentari muncul dengan paksa — jika saja ia tak menyadari jika anak lelakinya sudah duduk manis dimeja makan.
"Nasi goreng ditambah topping telur ceplok dan sosis sapi." Selena menyodorkan piring itu diatas meja makan.
"Terimakasih, Bunda." Kaivan menarik piring itu lebih dekat kearahnya. "Besok-besok pakai telur ceplok aja, Aku nggak apa-apa kok."
Selena mengernyit bingung. "Selain hemat, sosis itu kan makanan cepat saji — nggak bagus kalau dimakan sering-sering." Dengan raut tenang, Kaivan mulai menyendok nasi goreng itu dan menyuapkannya kedalam mulit kecilnya.
Tawa kecil Selena terpatri, dengan matanya yang menyipit — wanita itu mengelus rambut sang putra. "Oke. Maafin Bunda ya, anak ganteng."
"Why apologize? Bunda nggak salah, jadi nggak usah minta maaf."
Lagi-lagi Selena tersenyum. "Wow, Oke." Selena menarik satu buah kursi lalu ikut duduk bersama sang putra, tangannya meraih satu gelas susu rendah kalori yang selalu ia minum setiap paginya.
"Bunda nggak sarapan?"
Selena menggeleng lalu mengangkat gelas susu yang sisa setengah. "Jangan diet, Bunda udah cantik. Mau berapapun berat badan Bunda — You're still pretty."
Uhuk!
"Kamu belajar dari mana sih ngomong kayak gitu, Kai?" Selena mengelap tumpahan susu dipinggiran mulut — menggunakan punggung tangan, lalu Kaivan dengan segera memberikan selembar tisu untuknya. "Kamu udah punya pacar ya?" Selidiknya. "Siapa? Nadeline? Shilla? Tiara?" Tanyanya antusias.
"Nggak ada."
"Terus?"
"Terus apa? Aku punya Bunda — jadi aku harus belajar memberikan pujian buat wanita yang aku sayangi." Lagi-lagi Kaivan mengucapkannya dengan ekspresi datar.
"Kalau kamu bilang begini sama pacar kamu dengan muka datar kamu itu — Bunda yakin dia nggak akan percaya deh." Selena berjalan ke arah wastafel lalu meletakkan gelas kotornya disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FINE
RomanceDan akhirnya selalu ada batas dalam setiap perjalanan, dan selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai.