"Kebanyakan perempuan terluka karena terlalu lama menunggu. Dan kebanyakan Lelaki kecewa karena terlalu lambat memberi kepastian."
♡
"Kenapa kamu tanya begitu, Kai?"Kaivan menutup buku dengan sampul bertuliskan Biologi, menyusun buku-buku itu lalu mengembalikan ke tempatnya. "Kalau Ayah Kai memang masih hidup, dia nggak akan ngebiarin Kai dan Bunda sendirian sekarang. Dia akan ada disamping Kai dan bantu Kai buat menjaga Bunda setelah Kakek nggak ada."
"Kai —"
"Dan Ayah nggak akan membiarkan Bunda nangis setiap malam. Setiap malam Bunda nangis, lalu keesokan harinya Bunda tersenyum seolah-olah nggak ada apapun yang terjadi semalam. Apa tangisan itu karena Bunda terlalu sayang sama Ayah, atau karena rasa sakit dihati Bunda yang juga karena Ayah?"
"Kai nggak pernah tahu alasannya, tetapi Kai harap — Bunda nggak lagi menangisi Ayah."
Tangan Kaivan yang hendak meraih satu buku lain dengan sampul berbeda terhenti, saat Selena kini sudah duduk bersimpuh dihadapan Kaivan yang sudah panik kebingungan. "Bunda!?"
"Bunda ngapain?"
"Bangun!" Kai ikut berjongkok dan meraih bahu Selena, meminta wanita itu untuk bangkit.
"Maaf. Kai minta maaf, Bunda."
"Kai salah ngomong. Maaf."
"Bunda, jangan begini."
Selena terpejam. Gelap yang ada didalam pandangannya, mengantarkan air mata untuk menemui jalan keluar.
Sesak didadanya, perih serta pedihnya hati ikut serta hadir bersamanya. Lukanya kembali berdarah, namun kali ini bukan karena orang lain — melainkan karena ulahnya sendiri. Bahkan luka kali ini lebih perih dari pada luka yang ia dapatkan sembilan tahun lalu.
Sekian lama ia berusaha tegar berdiri diatas pecahan kaca, mengabaikan lelah dan letih, tangis dan perih hanya demi putranya seorang. Tak ada siapapun yang lebih berharga baginya selain anaknya, mengabaikan siapapun yang meminta hatinya — Selena lebih memilih hidup berdua bersama Kaivan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
FINE
RomanceDan akhirnya selalu ada batas dalam setiap perjalanan, dan selalu ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai.