10. Buatan Solar

704 43 4
                                    

📜Part ini juga panjang guys. Ehe... sorry, lagi demen...  So, enjoy yaa! 📜

====================================

“Huft—“

Entah sudah berapa kali ia mendesah lelah, mencoba mengusir rasa bosan yang kini mengisi atmosfer dalam kamarnya. Suasana senyap yang menetap hanya membuatnya semakin bosan, bahkan jendela besar yang sejak tadi terbuka menampakan pemandangan di luar rumah pun belum cukup untuk menghiburnya.

Gempa mendongakan kepalanya, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih, berharap akan ada kejutan dari atas sana yang bisa membuat rasa bosannya hilang. Namun, kejutan yang terjadi adalah ingatannya pada kalimat terakhir Halilintar sebelum ia jatuh ke mimpinya saat tidur.

Gempa mengingat jelas, ia memotong ucapan Halilintar yang belum selesai. Karena ia tahu kalau Halilintar akan benar-benar mengatakannya. Namun Gempa takut, ia akan mendengar sesuatu yang lebih buruk, makanya Gempa segera memutus ucapan itu.

“Semoga bukan kalimat yang aku pikirkan. Maaf karena memotong ucapanmu semalam. Aku cuma takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi setelah kamu mengatakannya,“ ucapnya berdialog sendiri.

Gempa menurunkan pandangannya, mengalihkan lagi pandangannya pada seisi kamar, lalu mengulas senyum tipis.

“Tapi, mana ku tahu kita juga bisa melakukannya, kan? Semoga Blaze tidak menjadi pelampiasannya,“ ucapnya lagi membayangkan Ice yang mungkin kesal dengan keputusan akhir mereka.

Ice akan menjadi sedikit sensitif apabila dihadapkan dengan perihal yang menyangkut kedua pasangannya yaitu, Blaze dan Gempa. Bisa-bisa ia menjadi agresif pada permasalahan itu, karena ia tak suka bila ada seseorang yang menjadikan pasangannya sebuah masalah apalagi masalah besar.

Satu lagi, Ice mudah merasa cemburu. Tapi kalau berusaha disembunyikan, akan lebih terlihat kenampakan cemburunya. Dan membuatnya cemburu menjadi salah satu kejahilan yang biasa Blaze maupun Gempa kerjakan. Karena menurut mereka, itu menggemaskan.

Yah, walaupun pada akhirnya mereka mendapat 'hukuman'.

“Gempa.“

Gempa menoleh. Rupanya Halilintar baru kembali dari lantai bawah. Ia membawa sebuah baki yang di atasnya diletakkan semangkuk bubur hangat dan segelas susu.

Pintu kamar yang sudah di tutup rapat pun ditinggalkan oleh Halilintar menuju Gempa yang masih duduk di sofanya.

Gempa mengulas senyum. Kedua kakinya diturunkan dari atas sofa.

Oh? Apa yang kamu bawa? Kamu mau sarapan di kamar?“ tanya Gempa sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat ada apa di atas baki tersebut.

Halilintar menggeleng, lalu meletakkan baki itu di atas meja.

“Bukan, ini untukmu. Aku sempat pergi ke dapur. Kata Solar, bubur hangat dan susu cocok untuk makan pagimu. Kamu baru bisa makan makanan rumah siang harinya,“ jawab Halilintar sembari duduk di sofa di belakangnya, di samping sofa Gempa.

Oh? Solar memasak, ya? Baguslah kalau begitu. Apa ada blaze juga?“ tanya Gempa sembari mengamati bubur hangat itu.

Halilintar tersentak. Ia gelagapan saat mencoba menjawabnya.

Eum.. a... Blaze tidak ada. Kata Solar, dia belum bangun,“ jawabnya.

“Kenapa?“ tanya Gempa tanpa menolehkan kepalanya.

“Semalam Ice masuk ke kamarnya.“ Halilintar tersenyum canggung.

Gempa pun diam. Dia ikut mengulas senyum canggung sambil bicara dalam hati, “Ah, harapanku ternyata meleset. Maaf, ya, Blaze.“

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang