07. Malam yang tak ditunggu

1K 43 37
                                    

🔰sedikit kiss scene🔰
🔰HaliGem Part🔰

Gempa menyalakan lampu kamar tidurnya. Silaunya cahaya lampu membuatnya menutup sejenak kedua matanya, dibantu dengan lengan yang terangkat menutupi kedua matanya.

Saat ia sudah terbiasa dengan cahaya lampu, Gempa perlahan menurunkan lengannya. Dia sempat terdiam saat melihat tampilan baru kamar yang sudah lama tak dihuni tersebut. Warna putih mendominasi dinding kamar tersebut. Lukisan kecil dan hiasan yang dipajang di dinding pun menjadi tambahannya.

Terdapat dua sofa dan satu meja yang berjarak beberapa langkah di depan ranjang. Lemari baju di dekat dinding samping dua sofa tersebut, karpet bulu di lantai berdekatan dengan ranjang, hingga jam dinding ukir kayu yang terpajang tepat di atas meja rias, di antara dua figura foto besar tentang ketujuh elemental.

Gempa berjalan lebih dalam. Perlahan harum bunga lavender favoritnya sampai ke hidungnya. Ia menutup kedua matanya lagi untuk menikmati harumnya sebentar, lalu membuka kedua matanya lagi. Hembusan napas lega pun terdengar dari dirinya.

“Harumnya. Tak sangka Solar pun tau aroma bunga kesukaan aku. Padahal aku belum pernah mengatakannya pada siapapun. Kira-kira dari siapa, ya?“ ucap Gempa sembari memikirkan seseorang yang telah membocorkan satu rahasianya.

Kedua tangannya memeluk diri. Gempa merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti kamarnya. Mungkin berasal dari AC yang sudah menyala sejak lampu kamar ini masih mati. Gempa pun meraih remote kontrol AC yang berada di atas meja rias, lalu mengecilkan suhu kamarnya.

“Dinginnya. Kenapa Solar mengatur suhunya sangat dingin. Tidak biasanya begini,“ kata Gempa.

Matanya kembali beralih pada isi kamar. Dia pun mengulas senyum tipis di bibirnya saat mengingat kembali bahwa Solar yang merapikan kembali kamar ini.

Sebenarnya bukan termasuk syarat dan hanya pendapat dari masing-masing saja. Tapi, kamar yang akan digunakan untuk melaksanakan aturan itu harus dirapikan oleh selain elemental yang melakukan aturan tersebut.

“Aku memujimu, Solar. Kerjamu bagus. Kamar yang sudah lama tak digunakan ini bisa dirubah sedemikian rupa agar terlihat lebih indah. Kerjamu cepat, ya? Aku jadi senang sekarang.“

Gempa merasa bangga pada Solar yang sekarang. Biasanya Solar tak mau menyentuh barang apapun untuk dirapikan. Dia hanya memakai lalu membiarkannya saja tanpa diletakkan kembali ke tempat semula. Tapi, sekarang Gempa mengulas senyum untuk kerja Solar.

“Karena sudah masuk ke kamar ini, aku jadi tidak bisa keluar lagi. Yah, sekarang aku hanya bisa menunggu Halilintar sampai ke kamar ini, lalu kami bisa melakukan aturan—“ lantas kalimatnya terhenti saat melirik ke arah meja rias.

Beberapa figura foto yang sengaja diletakkan di atas meja rias itu mengundang perhatiannya.

Gempa berjalan mendekati meja rias tersebut. Ia lantas terdiam saat melihat semua foto-foto itu. Foto-foto yang menunjukkan dua elemental sedang berpose di masing-masing figura.

Seketika senyum Gempa luntur. Memandang ketiga figura sedang tersebut membuatnya murung.

Gempa menghela napas. Dia tersenyum kecut, “Padahal sudah lama sejak saat itu, tapi kenapa masih terasa sampai sekarang, ya? Apa karena hanya aku yang tak ada dalam foto ini? Saat itu aku kan hanya menjadi tukang foto mereka. Haha....“

“Solar yang berpasangan dengan Thorn memasang pose keren dari pada Thorn yang memasang pose imut. Blaze dan Ice yang tak sengaja aku potret saat mereka sedang berjauhan karena salah paham, dan Halilintar yang sedang melirik Taufan dari kejauhan. Saat itu, tiada dari mereka yang bisa memotret diriku. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri, dan aku ... mencoba untuk bergabung dengan mereka. Tapi, rasanya jadi makin aneh....“ Gempa mengambil satu figura. Pandangannya merendah. “Aku ... terlihat seperti perusak di sana.“

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang