03. Keputusan Akhir

762 53 18
                                    

“Aku dan Gempa akan melakukan aturan itu.” Halilintar menegaskan kalimatnya. Nada bicaranya yang rendah dan terkesan menekan tiap kata itu mengundang lirikan dari para elemental.

Sementara tangannya yang masih menimpa dan menggenggam kecil tangan Gempa mendapat lirikan dari Taufan, dahinya berkerut.

“Hali, kamu yakin? Kita tidak seharusnya melakukan aturan itu,” Gempa bersuara. Matanya melirik menyiratkan rasa khawatir dan keraguan pada Halilintar.

Halilintar mengulas senyum tipis. Tatapannya lantas berubah menjadi lembut, “Aku yakin...” Tangannya menepuk-nepuk kepala Gempa, “... semuanya akan baik-baik saja, ya?”  lanjutnya.

Gempa mengembuskan napas kasar. Kalimat Halilintar yang diucap dengan suara lembut menyita emosinya untuk tenang sekejap.

Gempa mengangguk, menyimpulkan sesuatu, “Iya.”

Usai mendengar keputusan akhir, mereka semua mengulas senyum. Para elemental kembali menyantap hidangan mereka, kecuali Ice yang hanya memandang lantai tanpa menyentuh makanannya yang belum habis.

Blaze melirik, “Kenapa? Makananmu belum habis, Ice,” tanya Blaze.

Ice hanya menggelengkan kepalanya. Dia mendengus kesal, lantaran mendengar keputusan akhir dari musyawarah sementara mereka.

“Mau ku suapi?”

Ice menggeleng lagi, “Tidak.”

Solar yang memerhati sikap Ice itu mulai menyadari sesuatu. Bibirnya lantas membentuk senyum jahil dan menaikkan kedua alisnya, “Eleh, cemburu dengan Hali kan, tuh~?” ujarnya jahil.

Eh, mana ada?! Enggak!” Ice menyanggah. Kepalanya mendongak, lantas melempar pandangannya ke arah lain. Dia tak sadar kalau kedua pipinya bersemu merah menahan malu.

Blaze melirik Ice. Dia menyipitkan matanya dan bibirnya mengulas senyum jail.

“Oh~ cemburu dengan Hali, ya?” katanya.

“Enggak!!” Ice menyanggah lagi, namun kali ini dengan suara yang lebih keras.

Ice yang berusaha menolak mentah-mentah rasa cemburu itu, malah membuatnya menjadi bahan tertawaan elemental yang lain.

Makan malam mereka kemudian berakhir dengan canda tawa yang terus keluar dari mulut Blaze maupun Solar. Dua sejoli yang terkadang menjahili elemen lain itu sibuk menggoda Ice yang masih berteman dengan rasa cemburu.

Ice cemburu karena Halilintar bersanding dengan Gempa mulai sekarang. Seolah membuatnya perlahan tersingkir dari hak kepemilikan elemental. Sementara Gempa hanya ikut tertawa saja. Tak ada niat untuknya melerai yang lain. Jarang-jarang dia bisa melihat Ice cemburu.

“Gempa, hentikan mereka~!” Ice merengek. Dia menatap melas kepada Gempa yang masih terkekeh sambil menumpuk beberapa piring kotor bekas hidangan mereka.

Ulululuu~ mengadunya sama yang udah berpunya~” Blaze mengejek.

“Gempa juga punyaku!” jawab Ice.

Eits!! Kata Halilintar, Bagi dua, dong,” timpal Solar memanas-manasi.

“Solaaaaaar!!”

“AHAHAHAHAHA!!!”

Ice sungguh menjadi bahan tertawaan. Rengekannya yang memanggil nama si elemen bungsu karena tak terima dengan jawaban Solar membuat elemental yang lain makin tertawa. Blaze pun sampai memukul-mukul bahu Ice.

Namun, lain dengan Taufan. Dia yang diberi tugas mencuci piring oleh Gempa, tidak ikut tertawa bersama mereka. Dia hanya fokus pada tugas yang diberikan oleh si ketua.

Solar perlahan bangun dari jongkoknya. Tangannya menghapus air mata yang sempat menumpuk di pelupuk matanya, lalu menarik napas untuk menghentikan acara tawanya.

“B-baiklah, oke... Halilintar, mungkin malam ini aturan itu mulai berlaku. Jadi, bersiaplah dulu. Ice akan membantumu. Blaze bantu Gempa bersiap, aku akan menyiapkan kamar kalian.”

Ice diam. Dia memeluk tubuh dan memandang ke arah yang lain seolah tak berniat mendengar perintah dari Solar. Sementara Blaze segera menganggukkan kepalanya, lalu menarik Gempa ke lantai dua untuk bersiap.

“Solar, apa harus malam ini?” Halilintar bertanya. Dia mendekati Solar sembari membersihkan sedikit remah Snack makanan yang menempel di punggung tangan Solar.

“Lebih cepat lebih baik, Lintar,” jawabnya.

“Oh, oke. Terima kasih, aku naik dulu.”  Halilintar mengangguk mengerti. Tangannya mengelus kepala Solar sejenak, sebelum berjalan menuju ke lantai dua.

Ottey~! Ice, bantu Lintar.”

Ice berdecak kesal, lalu mengikuti Halilintar di belakangnya.

Kini hanya tersisa Thorn, Solar, dan Taufan yang tampaknya hampir menyelesaikan tugasnya untuk mencuci piring di dapur.

Thorn tersentak. Dia mendekati Solar dan melirik lantai yang Solar pijak, lalu berjongkok untuk melihat sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dekat.

“Solar, apa kamu makan Snack jagung?” tanya Thorn sembari mendongakkan kepalanya melihat ke arah Solar.

Solar yang mendengar lantas menggeleng. Dia mengangkat kedua tangannya yang kosong, seolah memberi bukti kalau dia tak membawa snack apapun, apalagi memakannya.

Thorn mengedipkan matanya, lalu melirik remahan-remahan Snack yang sudah hancur bekas injakan Solar, “Lalu, dari mana remahan Snack ini?”

Solar mulai berpikir. Matanya menatap lantai dan jarinya mencubit dagunya.

Eum, Taufan, apa kamu yang makan Snack itu?” tanyanya pada Taufan yang sudah selesai mencuci piring dan hendak mengeringkan tangannya.

Hm? Tidak. Aku tidak makan Snack apapun, Solar,” jawab Taufan sembari mengeringkan tangannya menggunakan tisu makan.

Thorn bangun dari jongkoknya. Dia dan Solar tersentak dengan jawaban Taufan. Jika bukan Taufan yang memakan Snack mereka, lalu siapa? Apa ada orang luar yang menyelinap?

Huh?” Solar dan Thorn saling menatap.

“Kalau bukan kamu, lalu siapa?”

—————
To be continue....
Jangan lupa vote dan komen, ya?
Terima kasih!!! (⁠^⁠∇⁠^⁠)⁠ノ⁠♪

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang