16. Makan malam bersama

540 52 23
                                    

Sinar rembulan pun tiba. Langit telah menggelap, kunang-kunang pun mulai berjejeran mengambang di angin.

Waktu malam sudah tiba untuk mereka, menandakan makan malam harus segera disiapkan.

Di dalam rumah itu, seorang koki pengganti yang menggantikan peran Taufan, Solar, dan Gempa sedang mengolah beberapa hidangan malam mereka. Di dapur kesayangan elemen ketiga mereka, ia dengan lincah berjalan kesana-kemari sendirian mengolah beberapa hidangan sekaligus menuruti nasihat Gempa.

Beberapa mangkok plastik berjejer penuh di bagian tengah meja dapur dalam posisi penuh—siap untuk ditutup. Beberapa mangkok itu berisi bahan rempah yang sudah dikupas dari kulitnya dan di cuci bersih. Hanya tinggal meletakkannya di dalam lemari es, lalu selesai.

Koki pengganti itu Blaze. Laki-laki yang sempat beradu mulut dengan kasihnya di dapur itu, tengah membuat hidangan makan malam mereka di sana. Dengan hati-hati ia memotong beberapa bahan rempah yang diperlukan dalam masakannya, berharap rasanya akan sama seperti yang ia mau.

Bila ditanya mengapa menuruti pesan Gempa untuk mengupas semua kulit dari bahan-bahan rempah yang sudah dikelompokkan di dalam mangkok-mangkok itu adalah karena dia mau menghabiskan waktu dsn menyibukkan diri.

Pikirannya masih kalut pada pertengkaran antara dirinya dan Ice siang tadi, ditambah dengan kalimat jahat yang entah sengaja-tidaknya Ice katakan. Ia berusaha melupakannya, melakukan apapun dan membuatnya sibuk pada hal-hal kecil untuk melupakannya lagi. Entah mengapa, saat kalimat itu terucap, Blaze tak melihat sisi Ice yang ia kenal di hadapannya.

Sementara itu, seseorang mengamatinya dari balik dinding bilik laundry yang bersebelahan dengan dapur. Mata birunya menatap lekat pemuda itu yang tengah memasukkan mangkok-mangkok yang sudah terisi penuh itu ke dalam lemari es. Ia sembunyi-sembunyi mengawasinya sejenak—sadar pada kesalahan yang sebelumnya ia perbuat.

Huft—“ hela napasnya terdengar lirih. Matanya sedikit menunduk, sebelum akhirnya berlalu dari tempat itu—keluar  dari bilik ruang laundry dan menjauh dari dapur.

.
.
.

“Nanti turun ke lantai bawah buat makan malam bersama, ya?“ Thorn beranjak naik ke atas ranjang lagi, lalu mengusap lembut kepala Solar yang menyembunyikan sebagian wajahnya di balik selimut tidur.

Namun, Solar menjawab dengan gelengan kepala—berusaha menolak ajakan Thorn untuk makan malam bersama dengan yang lainnya di lantai bawah.

“Kenapa? Nanti duduk di sampingku, oke?“ pujuknya mencoba lagi.

Solar tetap menggeleng.

Thorn menatap sayu. Ia menghela napas lelah karena percuma membujuk Solar yang sudah menolak sebuah permintaan ataupun sebuah tawaran. Susah untuk membujuknya.

“Ya sudah. Nanti ku hantar saja makan malamnya ke sini. Kamu makan di kamar saja. Nanti ku bilang pada mereka kalau kamu sedang kurang enak badan,“ ujarnya lembut.

Thorn lalu beranjak turun dari ranjang. Tangannya menggapai handuk yang masih setengah basah bekas mengeringkan tubuhnya setelah mandi, serta mencabut kabel hairdryer bekas mengeringkan rambutnya.

“Jangan lupa mandi,“ pesannya pada Solar yang masih bergelung dalam selimut di atas ranjang sebelum keluar kamar dan menutup rapat pintunya.

Solar hanya diam. Dia tak memberi respon apapun pada pesan yang barusan Thorn katakan. Ia hanya memandang ke bawah. Kedua mata yang tak ditutupi kacamata jingga itu menatap lekat pada baju-bajunya yang masih berhamburan di lantai.

Pikirannya hanya tertuju pada masa yang lalu, masih saat ia menemukan Halilintar dan Taufan bersama di puncak bukit itu. Hanya berdua dan bicara secara mesra. Berpegangan tangan, sangat dekat, bahkan tak satupun dari mereka yang menyadari kehadirannya, Halilintar pasangannya sekalipun.

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang