18. Kembali padanya

348 42 46
                                    

Pukul 12 tengah malam, masa di mana sepantasnya kesemua elemental telah tertidur pulas hingga bunga tidur menghampirinya. Masa yang menjadi puncak benderang sinar rembulan di langit yang tertutup awan mendung. Ribuan bintang yang menemani pun tak luput ditenggelamkan di balik awan mendung tersebut hingga menampakkan hanya beberapa saja.

Angin dingin yang menyapu dedaunan kering yang masih menggantung di dahan di luar sana, hingga gemersik semak-semak yang bergerak searah angin sejuk malam itu hingga mencuri masuk dari lubang ventilasi sebuah kamar yang dihuni oleh dua orang laki-laki.

Satunya berada di depan pintu tengah memutar kunci pintu kamar tersebut, lalu yang lainnya hanya sibuk menahan tawa di atas ranjang seraya memandang tingkah laki-laki yang berada di depan pintu kamar tersebut. Pasalnya, ia terlihat sangat serius untuk memastikan bahwa bunyi kunci yang terpasang tak membuat yang lain terbangun, walau kecil suaranya.

Pft— padahal yang lain sudah tidur, lho, Lin. Kenapa harus serius begitu? Kamu malah terlihat lucu, tau tidak?“  ucapnya mengejek Halilintar yang masih berhati-hati saat memutar kunci pintu tersebut. Tawa kecil pun terdengar dari mulutnya, mengundang balasan yang sama dari Halilintar.

“Aku tidak mau ada yang tau aku di sini, Taufan. Kamu tau itu kan, sayang? Malam ini hanya kita berdua di sini ... Dan aku tidak mau ada yang mengganggu.“

Ceklek

Berakhir sudah penantian Halilintar. Ia mengembuskan napas lega seraya mengucap kata syukur di dalam hati usai bunyi kunci itu telah mengunci pintu kamar dengan sempurna sebanyak 2 kali.

Halilintar mengambil langkah mundur sebelum memutar badan menghadap kasihnya yang sudah duduk menunggu kedatangannya malam ini di kamar lama yang sering menjadi tempat rahasia keduanya.

“Lagi pula, bagaimana kamu bisa di sini, Hali? Bukannya ini malam kedua? Bagaimana dengan Gempa?“ tanya Taufan sedikit risau pada aturan tiga malam antara Halilintar dan Gempa.

Halilintar duduk di samping Taufan, melepas satu persatu kancing bajunya hingga memperlihatkan sisi dada bidangnya, lalu menaruh satu bantal kepala ke atas pangkuannya. Dia memandang Taufan dengan tatapan tak suka.

“Apa?“ balasnya untuk tatapan Halilintar padanya.

“Kenapa kamu sibuk dengan aturan itu? Kamu milikku jadi aku bisa datang kemari kapan saja sesuai kemauanku. Perihal aturan itu, aku tidak terlalu mau mengikutinya. Jauh darimu membuatku rindu,“ jawabnya.

Kedua tangannya melingkar di bahu Taufan—menariknya masuk ke dalam pelukan hangat yang penuh rindu itu. Lantas semerbak lavender bekas aroma harum dari kamar Halilintar dan Gempa itu tercium di hidung Taufan, membuatnya merinding. Rasa cemburu pun tiba-tiba hadir di benaknya.

Taufan menyandarkan punggungnya di dada Halilintar, lalu menutup matanya sejenak. Ia bisa merasakan degup jantung Halilintar yang lebih cepat dari sebelumnya hingga membuatnya tersenyum simpul.

Ia merasa senang kalau Halilintar nyaman dan selalu ingin di dekatnya. Itu artinya dia yang menduduki tahta tertinggi di hati Halilintar.

“Kamu memang seperti orang yang tidak patuh dengan aturan. Padahal ada banyak sanksi yang bisa kamu terima kalau melakukan pelanggaran itu. Apa kamu tidak khawatir, hm?“ Taufan mengembuskan napas lelah. Ia tak habis pikir pada tingkah Halilintar yang bisa saja membahayakan salah satu bahkan keduanya dari Halilintar dan Gempa.

Halilintar pun terkekeh. Suara berat itu mulai keluar dari mulutnya dengan pelan.

“Sepertinya kamu tidak senang aku di sini, ya? Haruskah aku kembali pada dia yang pasti menungguku di sana?“ Halilintar menarik senyum miring, menjahili Taufan dengan sedikit godaan nakal.

Taufan lantas mendongak. Dia melepas pelukan itu lalu menyamaratakan tinggi wajahnya dengan Halilintar. Kepalanya menggeleng cepat.

Eh, jangan! Kalau sudah di sini, maka di sini saja. Jangan kemanapun. Aku terlanjur menginginkanmu. Jadi jangan pergi,“ sanggahnya langsung dengan nada yang sedikit dinaikan. Kedua alisnya mengerut serta kedua tangan yang mendadak dilipat di depan dada makin menandakan dia sedang kesal pada jawaban Halilintar.

“Tapi kamu yang menolak sendiri kehadiranku di sini,“ sanggah Halilintar.

“Aku tidak menolak. Aku cuma bertanya. Kan aturan itu punya persyaratan untuk kalian berdua. Aku hanya tidak mau sesuatu terjadi, setidaknya denganmu. Jangan sampai kamu terluka hanya karena sanksi itu,“ jawabnya masih dengan nada yang menaik pada Halilintar.

Halilintar mengulas senyum tipis. Ia membelai rambut Taufan perlahan, lalu turun hingga ke pipi yang sengaja di kembungkan.

Halilintar mengecup bibirnya, lalu tersenyum.

“Tentu tidak. Kamu tau kan bagaimana sanksi itu berjalan?“ Halilintar berbisik seraya matanya menyorot wajah Taufan— meneroka tiap indera yang nampak di sana. Ibu jarinya perlahan mengusap bibir lembut itu.

Taufan terdiam. Ia memandang Halilintar yang hanya berjarak beberapa centimeter dari wajahnya. Melihat gerakan mata Ruby itu saat meneroka wajahnya, sebelum akhirnya menganggukkan kepala.

“Aku tahu.“

Halilintar tersenyum tipis kala mendengar jawaban singkat Taufan. Namun, siapa sangka, jawaban Taufan mampu menaikan suhu tubuhnya. Tangannya perlahan turun menuju leher Taufan, sedikit meremasnya. Matanya kini menetap di mata biru safir itu dan bertanya.

“Jadi ..., biasakan kita?“

Taufan mengangguk. Dengan hati yang berdegup kencang, ia menerima ajakan Halilintar malam itu.

Halilintar menarik Taufan mendekat. Tangan kanannya menahan tengkuk Taufan, sementara tangan kirinya memeluk pinggang Taufan—memutar tubuhnya untuk berhadapan dengannya.

Perlahan wajah mereka mendekat dan semakin memotong jarak di antaranya yang tanpa sadar membuat tubuh mereka merinding satu sama lain seraya merasakan suhu tubuh yang menaik. Rasa gugup yang terasa seperti baru saja dialami malam lalu kembali tersirat di dalam diri mereka.

Halilintar menutup matanya. Jarak antar wajahnya dan laki-laki biru safir itu semakin tipis bersamaan dengan Taufan yang mulai menutup matanya dengan rapat. Dan tak lama setelah itu, Halilintar meremas pinggang Taufan. Ibu jari yang membelai tengkuk serta lenguhan kecil dari keduanya makin menambah kesan panas dari ciuman mereka.

Ciuman yang membawa mereka dalam kenikmatan sekali lagi. Rasa lapar nan haus akan hasrat juga nafsu yang mengendalikan mereka berdua kian menggelapkan sisi pikiran keduanya menuju ke aksi yang tak seharusnya terjadi di antara ikatan gelap Halilintar dan Taufan.

Namun, di balik semua itu, diam-diam Taufan mengulas senyum tipis. Hatinya mengucap terima kasih pada seseorang tanpa sepengetahuan Halilintar.

“Penurut sekali. Seharusnya sejak awal, tapi terima kasih sudah mengantarnya ke sini lagi.“




——————
To be continue...

Hello guys, aku up lagi.

Ni ... Lama bet ngga up. (⁠╥⁠﹏⁠╥⁠) Maaf yaa... Btw apa kabar kalian semua. Maaf ni up nya masih sedikit kalimatnya. Hhehee.. semoga kalian suka.

Jangan lupa vote dan komen ya..
Thank youuu!! (⁠ノ⁠◕⁠ヮ⁠◕⁠)⁠ノ⁠*⁠.⁠✧

See you readers ♡⁠(⁠Ӧ⁠v⁠Ӧ⁠。⁠)

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang