17. Kebiasaan Semata

478 52 25
                                    

Gempa POV

Malam berlabuh. Gempa kembali duduk di Window seat  hendak melihat langit malam lebih jelas. Berbeda dengan malam sebelumnya, ia tak membuka jendela kamarnya, melainkan hanya membuka lebar tirai itu. Tubuhnya bersandar pada dinding di belakangnya, seraya mengembuskan napas lelah.

Lelah yang ia rasa kian menguat usai mengenali kembali aturan yang sedang ia tempuhi. Sebuah aturan yang mengambil kewajiban dari dua elemental dasar untuk menyatukan keduanya sebagai pasangan sesegera mungkin sebagai penolak bala pada kehadiran fusion mereka.

Namun, bagi Gempa, semuanya sia-sia. Aturan yang saat ini ia lakukan tak memiliki guna untuk masa depannya, hanya mengambil apa yang seharusnya tidak pernah terjadi di kehidupannya. Namun, sanksi yang diterima bilamana menolak mematuhi aturan 3 malam itu pun memiliki efek negatif pada ikatan mereka, pada tujuh orang di dalamnya. Sehingga, mendasar dari sifat nya, ia menyanggupi untuk mematuhi aturan itu bersama Halilintar.

Gempa melirik bulan di langit. Warnanya benderang di antara bintang-bintang berkelip yang hendak tertutup awan mendung. Bahkan angin yang nampak berhembus kencang di luar sana tak mengambil perhatiannya dari bulan itu. Siapa sangka, Gempa sedang membagi cerita. Kebiasaan Gempa yang selalu dibuat ketika malam, menyampaikan isi hatinya pada Bulan di langit.

Tak mengapa, Gempa memang selalu melakukannya. Bukan tanpa alasan. Sejujurnya, dari ketujuh elemental, semuanya saling berpasangan. Namun, hanya dia yang tidak, jadi ..., Gempa terkadang enggan meminta sedikit waktu pada yang lain untuk mendengar keluh kesahnya. Ia tak mau ... Kalau seseorang kembali merasa cemburu dan membencinya.

“Sama saja. Walaupun tidak meminta waktu, aku tetap merebut mereka dari yang seharusnya, bukan?“ Tangannya menggenggam bantal peluk di antara tubuh dan lututnya dengan erat hingga gemetaran, kala mengingat kehadiran dan posisinya di antara keenam elemental.

Baginya, kehadirannya adalah sebagai perusak. Gempa tahu akan hal itu. Namun, ia tak bisa berbuat apapun, karena mau tak mau ia harus berada di sana untuk beberapa hal yang berkaitan dengan ikatan dari ketujuh elemental.

Namun, pada akhirnya kesadaran itu sendiri yang membuatnya merasakan sakit. Kehadiran tidak berharganya yang diposisikan sebagai perusak apabila di tunjukan, membuatnya terpojok saat diadakannya sebuah pesta.

Sebuah pesta yang akan membuatnya sendirian. Memandang mereka yang meraih minuman serta saling menyuap makanan dari kejauhan, membuatnya diam dan tidak dipedulikan.

“Tidak berguna. Sejauh apapun aku menjaga jarak dengan mereka, pada akhirnya takdir menyakitkan kembali menarik aku kepada mereka, memerintah, meminta, dan memaksaku berada di antara mereka yang ... Seharusnya sudah bahagia bersama dengan apa yang mereka mau.“

“Lalu sekarang, aku hanya bisa diam. Di anggap pasangan dalam aturan ini, tapi nyatanya bukan aku yang mereka inginkan. Benarkah ini nasib untukku? Malangnya ....“

Kepalanya tak menunduk, namun suaranya kian membisik pada alunan angin menuju bulan di langit sana.

Badan Gempa gemetaran. Atmosfer sunyi nan tenang yang mengisi kamarnya kian menambah suasana runyam dalam hatinya berubah jadi sendu. Perlahan, pipinya memerah. Pupil emas itu gemetaran melihat bulan, mati-matian agar tak ada air mata yang menetes ke pipinya.

“Sekarang aku sendirian. Dan selalu begitu. Mau berteman dengan siapapun di kamar ini, nyatanya semua akan pergi lagi dari sini. Mereka hanya bertahan sementara, lalu ... Pergi dengan yang lainnya.“

Tak ada yang salah, Gempa benar-benar sendirian di kamar itu, seorang diri. Bila bertanya di mana keberadaan Halilintar, maka jawabannya ia tak ada di sana, tapi bersama dengan orang lain. Meski malam sedang berjalan untuk malam kedua mereka, tapi Halilintar tak merasa khawatir. Kembali pada dirinya, ia tak begitu percaya pada beberapa sanksi dari kesalahan yang diperbuat sepanjang aturan 3 malam itu sehingga ia bisa membuat keputusan sendiri.

“Ini malam kedua. Hanya tersisa satu malam lagi, lalu semuanya berakhir. Namun, jika boleh meminta satu hal, yang ku mau hanya hadirnya di malam terakhir. Aku tak mau, sesuatu terjadi lebih jauh apabila aturan ini hancur. ... Setidaknya, sedikit retakan tidak akan mengganggu.“

Namun pertahannya runtuh. Air matanya menetes berulang kali ke pipi menuangkan sendiri yang sudah menumpuk.

Gempa memendam wajahnya di bantal peluk itu.

“ ... Aku berserah pada akhir cerita. Ini sulit...“

Isak tangisnya tak tertahan. Kamar Yang semula tenang berhias deru napas dan ucapan lirih dari Gempa, kian ditutupi dengan Isak tangis yang makin menjadi.

Tubuhnya gemetar hebat menghadapi isakan tangis yang terus keluar dari mulutnya. Tangannya menggenggam kuat bantal peluk di pangkuannya yang memendam jauh wajahnya di dalam sana guna meredam tangisannya. Gempa tak mau ada yang mendengar walau sekadar hela napasnya dari luar.

Luka lama yang di timpa dengan luka baru itu menjerat kuat dadanya, mendukung rasa sakit yang ia rasakan saat ini usai mendengar ucapan seseorang yang sempat berkunjung ke kamarnya.

Memang sebelumnya, ada seseorang yang berkunjung. Ia datang untuk memaksa dan menekankan suatu hal yang menyakitkan.

Namun, siapa?

Sesakit itu sampai membuatnya begini?

Jahat sekali.

————————
To be continue ....

Hum... Maaf guys, aku balik dan menyempatkan untuk buat sedikit lanjutannya. Hehe... Semoga kalian suka ya.. btw apa kabar? Semoga baik-baik aja ya...

Oh iya ..., menurut kalian, Gempa itu baik, atau jahat?

Sampai sini dulu, ya? Maaf pendek dan ngga nyambung...
Jangan lupa vote and komen ya ...
Terima kasih (⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)⁠✧⁠*⁠。

See you readers (⁠^⁠∇⁠^⁠)⁠ノ⁠♪

Bohongi Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang