Hujan lebat melanda di saat mata pelajaran terakhir sedang berlangsung. Benar-benar mimpi buruk bagi siswa yang tidak membawa alat tempur seperti payung dan jas hujan, termasuk Gathari dan Kalinda.
"Biasanya gue bawa loh, ini keknya kerjaan Kenan ngambil payung gue," dumel Kalinda sambil menatap kesal papan tulis yang penuh dengan hitungan matematika.
Gathari tersenyum, "mungkin dia lebih butuh ya kan, panik, jadi ambil payung lo. Gue ada ide deh, kalau pinjem payung Pak Markus boleh ga ya? Gue lihat ada beberapa payung di sana."
Seketika wajah Kalinda berubah cerah, "pintar! Gas dah nanti."
Setelah sekolah usai, Gathari dan Kalinda segera pergi ke pos satpam lalu menemukan Pak Markus sedang menyeruput kopi panas yang asapnya masih mengepul.
"Ada apa, Neng?" tanya beliau ramah.
"Boleh pinjam payung nggak, Pak? Kebetulan kami nggak bawa payung buat jalan ke halte," ujar Gathari ramah.
"Bentar ya neng, bapak cek dulu, kayaknya kemarin dibawa Pak Eko ke parkiran."
Pak Markus segera memeriksanya di sisi ruang yang lain. Gathari dan Kalinda harap-harap cemas, takut sudah keduluan yang lain.
"Ternyata emang udah dibawa, Neng, coba ke parkiran motor ya, Pak Eko lagi jaga di sana."
"Oiya udah pak, kami ke sana dulu, makasi ya, Pak."
Mereka berdua berakhir mendumel di jalan, sampai Gathari menangkap sosok bertubuh tegap dengan balutan seragam rapi tengah bersama perempuan di samping motor.
"Nanti turunin gue di toko buku yang biasa aja ya, mama lagi di sana," ujar Anjani yang tengah sibuk memakai jas hujan.
Agni mengangguk, "iya."
"Ini gimana sih? Nggak mau nyantol, ada yang nyangkut kah?" kesal perempuan itu yang belum berhasil memasang kait helmnya.
"Sini," Agni berjalan mendekat lalu mengaitkan helm perempuan itu.
Ia menepuk pelan puncak kepala Anjani, "gitu aja gak bisa."
Perempuan itu menatap Agni datar, "mau bilang makasi, tapi gak jadi deh."
Agni hanya terkekeh kecil, lalu naik ke atas motornya. Begitupun dengan Anjani. Mereka pergi meninggalkan parkiran, menyisakan Gathari dengan pikirannya yang mendadak berkabut.
"Gue lihat-lihat lo jadi sering lihatin Agni," ujar Kalinda sambil memberikan sebuah payung berwarna biru dan mengajak Gathari pergi dari sana.
Gathari menoleh, "gue juga bingung, tahu gak sih rasanya lo suka sama orang, dia baik sama lo, tapi dia juga deket sama orang lain."
"Dia bisa aja baik juga ke orang lain, tapi gue rasa dekat belum tentu suka. Lo gak perlu khawatir dengan apapun. Perasaan lo tuh wajar, tapi jangan buat itu ganggu pikiran lo."
Kalinda menatap sahabatnya itu, "dari mata kita bisa tahu kejujuran orang, dari tindakan kita bisa tahu kesungguhannya. Gue rasa dia tertarik sama lo, tap--"
"Lin."
"Gue belum selesai ngom--"
Ucapan Kalinda menggantung di udara ketika membaca chat di layar ponsel Gathari.
Agni Aryan
Gue lihat lo pucet tadi, lagi sakit?"Panjang umur ya dia. Boleh gak sih gue tanya ke dia?"
Gathari mengerutkan keningnya bingung, "tanya apa?"
"Dia sebenernya serius atau nggak sama lo. Perasaan itu gak ada petugas BMKG, susah memprediksi cuacanya kalau gak lihat sendiri."
Sekali lagi, Kalinda benar. Gathari juga bingung dengan sikap Agni akhir-akhir ini.
--
06/03/2024 - 08/03/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Always Be My Maybe
Teen FictionAgni akan selalu menjadi kemungkinan untuk Gathari. Bukannya tidak mau tahu kebenarannya, tapi sewajarnya manusia akan merasa kecewa jika harapannya tidak menjadi kenyataan. Copyright 2023 by Renata Sayidatul