|2| Puzzle Juan

61 6 0
                                    

That only blindly I could read you
But I could read you
It's like you told me

-YSE-

=====

Banyak orang bilang aku beruntung. Ayahku menyayangiku, dan Kak Jizan selalu ada bersamaku. Setidaknya itu yang mereka lihat, namun setiap hari menjalani kehidupan di rumah ini aku tak bisa merasakan apapun selain kekosongan. Aku berusaha berpikir bahwa aku bahagia, namun kekosongan itu seakan-akan menyerbuku, menusukku tepat di dadaku.

Ayah menyayangiku, sangat. Aku tahu itu. Terkadang sikapnya yang terlalu menyayangiku membuatku kesal setengah mati.

"Ayah, apakah kakak sakit?"

Itu adalah pertanyaan bodoh yang pertama kali ku tanyakan pada Ayah saat aku melihat Kakak yang tak menangis ditinggal Ibu. Bukan hanya itu, Kak Jizan tak pernah menangis saat dipukul temannya, tak pernah menangis saat terjatuh, dan masih banyak lagi. Aku pikir Kak Jizan seperti itu karena ia terlalu kuat, aku bukan saingannya. Namun pada akhirnya aku mengerti bahwa Kak Jizan hanya berbeda.

Aku juga tidak pernah bisa mengenal Kak Jizan. Aku hanya selalu melihat punggungnya yang menjauh dari pandanganku, membuat hatiku lenyap penuh kekosongan.

Awalnya aku tidak pernah iri terhadap Kak Jizan, melainkan aku berbelas kasihan. Aku pikir Kak Jizan pasti tidak bahagia dengan keadaannya. Dan jujur saja, aku sedikit merasa menang.

Namun, entah mengapa, aku mulai mendambakan kebebasan yang dimiliki oleh Kak Jizan. Lagipula, bagaimana Kak Jizan bisa tahu ia bahagia atau tidak padahal ia pernah merasakan apapun?

"Gimana pertemuan sama Ibu lo?" Aku bertanya sarkas melihat Kak Jizan yang baru saja pulang. Ia masih ada di ambang pintu, wajahnya terlihat cukup terkejut sebelum akhirnya datar kembali.

"Ini di rumah," katanya dan aku hanya mengendikan bahu acuh. "Gak perduli."

"Nanti Ayah dengar," ujarnya kembali. Wajah datarnya serius menatapku, dan itu sungguh membuatku kesal.

"Terus kalau Ayah dengar memangnya kenapa? Toh, semua orang jaman sekarang seperti ini."

"Ayah nanti gak suka."

"Gak perduli."

"Juan Nabastala." Suaranya menegur indraku. Aku tidak tahu mengapa, namun hari ini aku sangat tidak menyukainya.

Aku mengerti ia tak berperasaan, tapi apa ia tak pernah sadar bahwa kata-katanya itu terus menyakitiku? Aku terus berusaha mendekatinya, namun ia terlihat seperti sangat berusaha menjauhkanku.

"Iya, terserah."

Aku yang sedang duduk di ruang sofa bangkit dari duduk, kemudian pergi meninggalkannya.

Apakah aku membenci Kak Jizan?

=====

"Kak Jizan itu baik kok sayang, kamu harus belajar lebih kenal Kak Jidan lagi. Baru tahu deh bagaimana Kak Jizan itu orangnya."

Aku hanya mendengus mendengar penuturan Nenek di seberang telepon.

"Pasti kesukaan Nenek itu Kak Jizan ya?" terkaku. Nenek di seberang sana tertawa kecil, seperti heran dengan perkataanku.

"Gak ada kesukaan, kalian itu sama-sama cucuk Nenek. Nenek sayang sekali dengan kalian berdua. Nenek berharap kalian akur sebelum Nenek pergi dari dunia."

"Ih, kok Nenek bicaranya begitu?" Aku menggerutu, tidak nyaman mendengar penuturan Nenek.

"Kamu baru hidup 15 tahun Juan. Nanti kamu pasti akan merasakaannya," ucap Nenek membuatku bingung.

"Merasakan apa?"

"Niat hati seseorang sesungguhnya. Ketika kamu kecil, kamu melihat rupa dan senyum seseorang sebagai tolak ukur rasa sayang dan kebahagiaan. Namun ketika kamu dewasa nanti, kamu akan tahu apa arti bahagia dan sayang sesungguhnya tanpa ucap kata dan lengkungan di bibir."

Aku termenung setelahnya. Pikiranku dipenuhi dengan bayang-bayang wajah Ibu dan Kak Jizan. Ibu yang selalu tersenyum padaku, membelaiku penuh kasih saja bisa meninggalkanku. Lalu apa keyakinanku bahwa Kak Jizan dan Ayah akan selalu bersamaku?

Dunia ini begitu kelabu, aku tidak bisa membedakan apapun yang ada di depanku. Hari ini mereka ada bersamaku, menyayangiku, namun besok bisa saja mereka akan sangat membenciku.

People change, people come and go. Rasanya menyakitkan di saat aku berusaha untuk tidak berubah dengan melihat semua orang di sekitarku berubah.

"Hari ini kamu kemana lagi sih?!"

Aku yang sedang melamun sembari mengaduk tehku tersentak. Ku tolehkan kepalaku ke arah ruang tamu. Ku lihat Ayah sedang menatap marah Kak Jizan. Sepertinya Ayah maupun Kak Jizan tidak sadar akan keberadaanku.

Kak Jizan pulang dengan keadaan basah kuyup, bajunya basah dan penuh lumpur. Wajahnya penuh lebab dan bibirnya pucat kedinginan.

"Habis jatuh naik motor," jawab Kak Jizan lempeng. Tak ada ekspresi di wajahnya. Wajah Kak Jizan memang selalu datar, namun entah mengapa kali ini terlihat berbeda. Matanya menatap sendu Ayah. Tangannya yang mengenggam tas itu tampak bergetar.

"Jangan-jangan benar ya kata Juan, kamu nakal di luar sana?" ujar Ayah menghampiri Kak Jizan.

"Aku gak nakal, Yah. Memangnya apa yang bisa aku lakuin?" balas Kak Jizan. Dibalik kemarahan Ayah, aku bisa menerka ada apa dibalik manik matanya. Ayah sangat khawatir.

"Kamu gak bisa merasakan apapun kan? Bisa saja kamu—"

"Ayah, apa aku sosok yang seperti itu di mata Ayah?" tanya Kak Jizan pelan, matanya menelisik mata Ayah.

Ayah terdiam, ucapan Kak Jizan itu sepertinya menusuk ulu hatinya, begitupun denganku. Rasanya dadaku sakit sekali, sesak menyeruak, mendengar ucapan Kak Jizan.

"Tidak, kamu anak Ayah. Kamu anak yang baik, kamu—"

"Ayah, aku bahkan gak bisa sakit hati." Kak Jizan memotong, ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas.

"Udahlah, aku ke kamar dulu. Ayah jangan lupa istirahat ya."

Selepas itu Kak Jizan melenggang pergi, Ayah masih terdiam di tempatnya.

Sementara aku di sini, hanya dapat mengamati punggung Kak Jizan yang menjauh kemudian hilang dibalik pintu.

Apa selama ini prasangka dan dugaanku salah? Apa selama ini aku terlalu menjahati sosok Kak Jizan di pikiranku dan terlalu mengasihani diriku sendiri?

Waktu di sekitarku perlahan berhenti saat aku memikirkannya, insan di muka bumi ini begitu banyak. Rasanya tak adil aku membagi dua kubu antara orang bahagia dan tidak. Prasangkaku mengenai kebahagiaan mendadak lenyap. Paradoks-paradoks yang ada di benakku menguap terbawa angin dan dinginnya malam ini.

Begitu malunya aku yang bertingkah seperti orang yang berbeda, orang yang lebih bijaksana dari insan di dunia ini. Padahal aku tidak lebih dari seorang pengecut yang hanya mengasihani diriku sendiri.

Aku terlalu dangkal.

Aku terlalu meremehkan sebuah rasa. Sebab aku pikir kekosongan hanya hal remeh yang harus ku enyahkan.

Namun kenyataannya, kosongpun adalah sebuah rasa. Dan tidak semua orang bisa merasakannya.

Kalbu Kelabu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang