Brushed my teeth and combed my hair
Had to drive me everywhere
You were always there when I looked backYou had to do it all alone
Make a living, make a home
Must have been as hard as it could beAnd when I couldn't sleep at night
Scared things wouldn't turn out right
You would hold my hand and sing to me—M.C—
=====
Hidup itu selalu penuh kejutan, tak heran bagaimana rasanya harapan yang ku pikir akan bertahan selamanya dapat lenyap sedetik kemudian. Sebab semua memang sudah ada yang mengatur.
Namun dibandingkan mengeluh, aku lebih banyak diam. Sebab enggan rasanya melihat mimik wajah Ayah yang selalu berubah-ubah. Bukan Ayah yang terlihat aneh, namun aku yang berbeda.
Sewaktu kecil, Ayah yang bertugas menyisir rambutku, mengeringkan rambutku, atau bahkan menyikat gigiku. Ayah selalu menyanyikan lagu padaku.
Everything I Do, I Do Is For You, milik Bryan Adams. Ayah suka sekali bersenandung, menyanyikan beberapa lirik indah, dipadu dengan suaranya yang sedikit fales. Terkadang aku kesal sebab runguku sungguh bosan mendengar perpaduan tidak menyenangkan itu.
Namun kalau saja aku tahu hari ini aku tidak bisa mempunyai kesempatan mendengarkannya lagi, maka aku akan merekamnya, mendengarkannya setiap hari tanpa mengeluh.
Tapi balik lagi, kalau saja.
Sebab semenjak Ibu pergi, Ayah terus mengurung diri di kamar. Pergi hanya untuk bekerja setelah itu pulang ke rumah dan mengurung diri lagi. Aku bahkan lebih terbiasa menatap punggung Ayah dibanding wajahnya.
Aku hanya mempunyai Juan sewaktu itu, ia ku anggap tanggung jawabku. Namun pada akhirnya, Juan pun menjadi jauh dariku. Adikku suka sekali menunggu Ayah pulang di halaman, kemudian mengajak Ayah berpergian menikmati angin malam sementara aku di rumah hanya menatap kosong halaman rumah yang dingin dan cukup berantakan.
Take me as I am
Take my life
I would give it allKu dengar musik itu mengalun dalam kamar Ayah dengan lembut, sejenak aku terhenyak. Kemudian tersenyum tipis, aku merasa Ayah mulai kembali lagi.
Aku tak meminta apapun selain Ayah tidak meninggalkanku. Pria itu berarti segalanya untukku dan Juan.
Aku menatap punggung Ayah yang sedang menari-nari dari belakang. Aku terhenyak kembali, Juan di sebelahnya sedang tertawa. Sepertinya mereka sedang memasak bersama.
"Jizan." Suara berat itu menyapa runguku. Aku menaikkan satu alisku. "Gimana, Yah?"
"Juan baru saja dapat peringkat 1 di sekolah, hebat ya." Ayah tersenyum bangga, aku mengangguk tanpa dapat berekspresi apapun. Aku senang, namun tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.
"Kamu gak mau coba ke psikolog?" Ayah bertanya kepadaku dengan ragu. Nafasku tercekat setelahnya, namun aku hanya dapat terdiam. Ayahku menghela napas. "Ini semua kan demi kebaikanmu."
"Teman Ayahku ada yang Dokter," sahut Juan kemudian. Aku meliriknya. "Aku sakit kah?" tanya ku pada kedua orang itu.
Ayah bungkam, begitupun dengan Juan. Aku ganti menghela napas, kemudian melenggang pergi dari ruang makan yang tak pernah hangat itu.
"Selamat makan."
Hanya itu yang dapat ku ucapkan.
=====
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu Kelabu ✔
General FictionTuhan tahu, bahwa mahakarya-Nya sungguh indah. ©hollagreel, 2024