|9| Ayah Adipta

20 3 0
                                    

I need to cry
But I can't get anything out of my eyes
Or my head
Did I die?

—C.T—

=====

Musim dingin, 2011

"Ayah, Ibu pergi karenaku ya?"

Jizan menatapku dengan mata bulatnya yang polos, aku menggigit bibir bawahku, menahan seluruh isakan yang ingin ku keluarkan sedari tadi. Tanganku terulur, mengelus puncak kepala Jizan dengan lembut.

"Juan masih tidur ya?" Aku mengalihkan topik, Jizan mengangguk. Anak itu kemudian menggandeng tanganku erat. "Ayah, jangan pergi ya? Jizan janji Jizan bakalan jadi anak yang baik, Jizan gak bakalan jadi monster," katanya polos.

Ku dengar ia bergumam kecil, air mataku lolos begitu mendengar ucapannya. Ku pejamkan mataku, ku peluk erat Jizan.

Ya Tuhan.. maafkan aku, mengapa aku menjadi Ayah yang gagal? Mengapa anakku harus mengalami ini semua?

"Ibu pergi.. karena memang sudah waktunya pergi Jizan. Itu semua karena kemauan Ibu sendiri, Jizan tidak bersalah. Bagaimana bisa anak selucu Jizan menjadi monster?" kataku, masih memeluknya erat. Aku bisa merasakan bahuku makin basah, Jizan menangis dalam pelukanku tanpa suara.

"Ayah.. aku beneran akan jadi anak yang baik. Aku akan menjaga Juan agar Ayah tidak kehilangan Juan seperti Ayah kehilangan Ibu karenaku."

Aku tak mampu membalas ucapan Jizan, namun tangisku semakin keras. Aku tak bisa mengatakan apapun, ketakutan menyeruak pada pikiranku. Malam itu, aku berpikir semuanya sudah berakhir.

Namun ku panjatkan doa. Tuhan, aku tak berharap banyak. Aku hanya berharap kedua anakku akan saling memegang erat, bersatu dan selalu bahagia tanpa terluka oleh arus takdir kejam dunia ini.

=====

Musim dingin, 2013

"Adipta! Adipta! Adipta!"

Aku yang sedang asik membakar ayam terkesiap mendengar Bu Artha memanggilku denga panik. Ku angkat ayamku lalu ku taruh di piring dan berlari menghampiri Bu Artha.

"Ada apa?" tanyaku yang ikut panik.

"Juan! Juan, Adipta! Kecelakaan!" Tanpa menunggu waktu lama, aku berlari sekuat tenaga, bahkan tak memedulikan kakiku yang terluka tak sengaja menginjak kerikil-kerikil.

Aku berlari sekencang mungkin, ke rumah sakit tempat anakku sekarang berada. Aku hanya dapat mendengar Bu Artha mengatakan bahwa anakku sudah berada di rumah sakit sebelum akhirnya runguku menjauh seakan-akan tuli.

Aku panik setengah mati.

"Pasien kecelakaan, Juan Nabastala! Tolong, di mana anak saya!" seruku pada sang suster, ia tampak linglung dan mengotak-atik komputer.

"Di sebelah sana—"

Aku segera berlari sesuai arah tangan suster, tak mendengarkannya lebih lanjut. Sekarang pikiranku hanya ada Juan seorang.

Aku menyibak korden yang menghalangiku, dan ku lihat Juan yang sedang tertidur dengan tangan yang digips. Jangan lupakan pelipisnya yang lecet. Aku menghela napas panjang, ku atur napasku yang terengah-engah.

Kalbu Kelabu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang