Can I go where you go?
Can we always be this close forever and ever?
And ah, take me out, and take me home (forever and ever)—Taylor Swift, Lover—
❝Lagu yang ingin sangat ku sampaikan
padamu, melalui panjatan doa ku berikan
pada Tuhan, namun kau tak tahu. Seberapa
aku berdoa padaNya, dan seberapa ku ingin
dirimu. Semoga bisa, walau suatu hari nanti,
walau seribu tahun kelak, aku tetap menunggu
jawaban dari doaku❞ —Jizan Rahadian Jibran.=====
Setelah ku dengar ucapan Zara malam itu, aku menangis kencang dengan bantal sebagai peredam suaraku. Entah, aku tidak tahu mengapa aku menangis sekencang itu. Hatiku rasanya sakit sekali, bahkan sakitnya melebihi di saat Ibu meninggalkanku, aku tak pernah menangis setelahnya. Aku tidak bisa tidur semalaman.
Kemudian ku renungkan kehidupanku akhir-akhir ini. Bagaimana aku melewati hari-hariku yang sangat berat. Bagaimana aku merasa semua orang akan meninggalkanku, setiap malam aku bersiaga, kalau-kalau ada seorang lagi yang akan pergi menjauh dariku.
Hidupku dipenuhi ketakutan. Setiap malam aku berdoa pada Tuhan. Jangan ambil apapun lagi dariku, aku akan berusaha hidup lebih baik dan lebih keras lagi.
Aku menutup diriku rapat-rapat, tidak membiarkan seseorang masuk lagi selain Marko, Ayah, Juan, dan tentunya Ibu yang sudah pergi.
Namun hari itu, Zara datang padaku dengan senyuman manisnya. Gerbang sekolah itu menjadi saksi bisu pertemuanku dengan Zara, gadis menyebalka yang sekarang sudah seperti separuh nyawaku. Hari itu dipenuhi oleh rintikan hujan yang menetesi setiap jengkal bumi, tak ada yang dibiarkannya kering sedikitpun. Ranting-ranting berguguran kala tak kuat diterpa oleh derasnya rintikan hujan.
Zara tersenyum menatapku, ia menatapku dalam. Aku memandangnya aneh.
"Hallo." Ia melambai padaku. Namun aku melengos, mengabaikannya sebab aku merasa tak kenal. Seakan-akan tersihir, gadis itu malah berlari mengikutiku.
"Hallo, kamu anak baru kah?" tanyanya mengiringi langkahku. Aku meliriknya singkat. Anak baru? Diriku?
"Oh, anak lama ya berarti." Ia bergumam sendiri. "Tapi kok aku gak pernah lihat kamu ya?" Ia bertanya lagi.
"Kenalin aku Zara." Langkahku berhenti, menatapnya malas. Namun seakan-akan tak perduli dengan tatapanku, ia masih menatapku dengan senyum manis.
Sesaat aku tertegun melihat senyum manis itu, cantik sekali. Namun tepukan dibahuku menyadarkanku. Ku tolehkan kepala, ku lihat Marko yang terlihat bingung.
"Eh Zara cantik, ada urusan apa nih sama sohib gue?" Zara nampak menukikkan alisnya. "Kita kenal?" tanyanya pada Marko.
Wajah Marko segera masam, aku hanya tertawa dalam hati.
"Ya udah kenalin gue Marko neng, jadi ada urusan apa nih?"
"Oh gak papa kok." Zara tersenyum simpul, matanya menatap lekat diriku. "Boleh tahu namamu siapa?" tanyanya padaku. Aku menatapnya heran, name tag jelas terpasang di saku seragamku, namun gadis itu masih bertanya.
"Oh, mau nanya toh. Kenalin nih sohib gue nama—"
"Boleh dengar suaranya gak?" Zara memotong ucapan Marko, membuat pemuda itu menatap kesal. Namun akhirnya Marko hanya terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu Kelabu ✔
General FictionTuhan tahu, bahwa mahakarya-Nya sungguh indah. ©hollagreel, 2024