I've been searching for a trail to follow again
Take me back to the night we met
And then I can tell myself
What the hell I'm supposed to do—L.H—
=====
Ketika malam terasa sangat dingin, langit terasa sangat tinggi, dan sunyi menghinggapi. Rasanya Jizan seperti ditarik paksa pada kenyataan pahit yang harus ia telan mentah-mentah.
Hidup itu memang begitu, harapan yang katanya dapat melindungi kita dari dunia ini, nyatanya harapanpun semu. Tak akan bertahan lama.
"Kalau menurut Bunda memang semua harus dibicarakan sayang. Adikmu pun akan tahu kalau kamu berkata, memang awalnya ia akan terluka. Namun dibandingkan berharap pada sesuatu yang tidak pasti serta usahamu yang seperti tidak membuahkan hasil, bukankah itu justru akan melukai kalian berdua?"
Bunda Marko mengusap lembut kepala Jizan. Kebetulan wanita itu baru saja pulang saat melihat wajah babak belur Jizan yang sedang berbicara serius dengan Marko di halaman.
"Kamu sudah ke sini hampir setiap hari dengan keadaaan seperti ini. Memang hatimu mungkin tidak bisa sakit oleh perkataan mereka, tapi ragamu itu fana. Saat mereka sudah tidak tahan, mereka bisa lenyap," nesehat Bunda Marko sembari menggenggam tangan Jizan erat-erat. "Bunda itu kalau lihat kamu bawaannya kayak lihat Marko. Masih sama-sama kecil dan labil."
Bunda Marko mengerti bagaimana perjuangan Jizan selama ini, bahkan tanpa bercerita pun Bunda Marko tahu bagaimana Jizan selalu berjuang untuk menjadi dewasa bahkan sebelum waktunya.
"Ibu gak bakalan senang kalau begitu," balas Jizan pelan, sangat pelan. Pemuda itu hanya menatap miris tangannya yang terluka, bau tak sedap dapat ia cium melalui jaket serta seragamnya.
"Ayahmu tidak pernah bertanya?" tanya Bunda Marko dengan senyum keibuannya.
"Ayah gak boleh nanya, nanti Ayah sakit." Jawaban Jizan itu membuat Bunda Marko tersenyum pedih.
"Jizan, Ayah itu Ayah kamu. Kamu pernah gak bayangin bagaimana rasanya jadi Ayah yang gagal melindungi anaknya? Bukan hanya raganya, tapi ia gagal melindungi raga serta hati anaknya. Tanpa Bunda kasih tahu pun, kamu pasti akan tahu," ucap Bunda kembali, berusaha memberi pengertian.
"Bagaimana menjaga kalau tidak ada yang perlu dijaga?" pungkas Jizan memejamkan matanya. Menidurkan kepalanya dipaha Bunda Marko.
"Bentar ya Bunda, Jizan capek sekali."
=====
Juan menatap jam dinding yang terpasang di kamarnya. Netranya menelisik, merasakan dinginnya kamar serta waktu yang terus berputar, tidak perduli hari ini apa yang sedang terjadi. Waktu akan tetap berputar pada porosnya.
"Udah pukul setengah 4." Juan bergumam. "Kak Jizan belum pulang."
Pemuda itu menghela napasnya, setelah berpikir dengan waktu yang cukup lama. Juan akhirnya bangkit berdiri, melangkahkan kakinya keluar kamar. Langkahnya cukup tergesa-gesa, pikirannya terpenuhi oleh sesuatu.
"Kamu juga mau ke mana?"
Suara berat sang Ayah menghentikan langkah Juan. Pemuda itu menatap Ayah. "Mau cari Kak Jizan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalbu Kelabu ✔
General FictionTuhan tahu, bahwa mahakarya-Nya sungguh indah. ©hollagreel, 2024