|3| Untuk Dikenali

47 7 1
                                    

Remember all the things we wanted
Now all our memories, they're haunted
We were always meant to say goodbye

—S.A.L—

=====

"Lo adik Jizan ya?"

Ku picingkan mata menatap wajah orang tampan di sebelahku. Ku lihat seragamnya, sepertinya ia satu sekolah denganku. Wajahnya tampak sedikit songong, namun dingin dalam waktu yang bersamaan. Aku hanya mendengus, tak berniat menjawab.

"Yeuuu, anak kecil belagu amat ditanyain juga," cibirnya tak suka hati.

Sepertinya hari ini aku terlihat cukup sial, mulai dari Kak Jizan yang sudah berangkat dari subuh, bahkan sebelum aku bangun. Lalu ban mobil Ayah yang bocor secara tiba-tiba, terpaksa aku harus menaiki bus untuk sekolah. Dan bertemulah aku dengan orang menyebalkan di depanku.

"Anak kecil?" tanyaku tak terima. "Siapa yang bilang gue anak kecil? Emang umur lo berapa?!" Nadaku seperti menantang.

"Tetep aja, lo adiknya Jizan. Jadi lo tetap anak kecil. Kecil banget."

"Sok tahu." Rasanya ingin ku cakar wajah orang di sebelahku. "Oh ya, lo kenal Jizan?" tanyaku. Terlihat seperti kurang ajar memang, namun sepertinya Kak Jizan juga lebih menyukai jika kami pura-pura tak mengenal satu sama lain.

"Lah, lo adiknya Jizan apa bukan sih?" Bukannya menjawab, orang di depanku terlihat kebingungan. Pupil matanya nampak bergerak ke atas dan bawah, khas orang aneh.

"Bukan, gak kenal," jawabku singkat.

"Masak sih? Mirip banget anjir, gue nebak."

"Gak perduli."

"Santai, sewot amat sih lo. Beda sama Jizan," katanya menggaruk kepalanya.

"Kan udah gue bilang gue gak kenal Jizan!" sentakku kesal.

"Wishh, selow men, kaya diapain aja lo jadi tantrum."

Aku mendengus, sepertinya tempramenku memang buruk akhir-akhir ini.

"Gue kira kalian kakak adik, saking miripnya," katanya lagi. Aku hanya menghela napas.

Aku tak mengerti, orang-orang banyak mengatakan kami mirip. Namun menurutku, kami sungguh berbeda. Kak Jidan mirip sekali dengan Ibu, namun aku lebih mirip Ayah. Lalu sifat kami pun sangat kontras. Tak bisa disandingkan.

"Lo kenal Jizan?" tanyaku.

"Pertanyaan lo aneh," balasnya. "Harusnya kalau lo emang gak kenal, lo nanyanya, siapa itu Jizan? Lah ini malah nanya kenal Jizan apa gak," cibirnya, aku mendadak canggung.

Mengapa aku bisa begitu bodoh?

"Lo kenal Jizan?" tanyanya. Aku mengangguk saja. ''Teman SD." Lagi-lagi aku berbohong. Ia tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Gue Marko btw."

Sekarang giliran aku yang mengangguk-angguk. "Lo sendiri?"

"Sahabat dari kecil."

"Lah gue gak tahu," ucapku spontan. Marko mengernyit. "Maksud lo?"

"E-eh gak, maksudnya kan gue juga sempet temanan sama Jizan dari kecil. Nah, makanya itu kok bisa-bisanya gue gak tahu elo." Lagi-lagi aku berbohong. Tapi bodohnya, Marko menganggukkan kepalanya percaya.

Kalbu Kelabu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang