02. Jangan Lagi

6K 320 3
                                    

Tanpa diduga, Maudy ternyata mulai merasa nyaman bekerja di kantor ini. Dia bahkan sudah bekerja lebih hampir tiga bulan lamanya. Nampaknya kesibukan ini membuat dirinya lupa akan kesedihan yang biasa melanda di malam hari. Kini tidurnya tak lagi ditemani oleh keresahan dan pikiran buruk. Namun sudah dipenuhi oleh rentetan pekerjaan. Maudy tidak marah, memang lelah. Namun lebih lelah jika kenangan-kenangan masa lalu itu terus membayanginya.

Ah, sudah sekian lama ia tidak merasakan perasaan sedamai ini. Maudy berharap kedamaian inj akan berlangsung lama. Wanita itu membuang semua isi kepala yang sudah membisikkan kalimat-kalimat buruk kepadanya. Tentu dia harus melewati masa ini tanpa perlu khawatir sama sekali. Maudy ingin setidaknya menikmati hidupnya yang sudah lama hilang entah kemana.

Suara dentingan alat makan membuyarkan semua skenario di kepalanya. Maudy menggelengkan kepala, lalu menatap rekan kerjanya yang tengah menyantap makan siang tersebut. Maudy sudah berbaur, kini ia mulai mengakrabkan diri dengan rekan kerjanya. Tak mungkin bila Maudy terus-terusan menyendiri.

"Eh kalian kepo nggak sih sama Pak Arya?"

Tangan Maudy seketika berhenti bergerak. Tubuhnya kaku bagaikan patung batu. Bagaikan tersambar petir di siang hari, nama itu menghantam Maudy. Nama pria yang sangat ia hindari. Mati-matian dia menyingkirkan bayangan pria itu dari pikirannya. Ayolah Maudy! Ada jutaan manusia di bumi, pasti pemilik nama itu bukan hanya dia seorang. Kau tidak boleh lemah. Kau harus bersikap biasa saja.

"Eh, Maudy belum pernah ketemu sama Pak Arya nggak sih?"

"Iya, nih. Maudy, lo udah ketemu belum sama Pak Arya?"

Septi dan Naura saling memandangi Maudy untuk meminta penjelasan. Mereka masih tak menyadari keanehan pada Maudy.

"Maudy."

"Maudy!"

Zara mengguncang tubuh Maudy, sebab rekan kerjanya ini malah melamun di tengah perbincangan mereka.

"Eh—Sorry! Gue malah melamun. Tadi kalian nanya apa?"

"Ya ampun, gue kira elo kesambet apa gimana tadi. Tiba-tiba aja bengong kayak orang ketempelan." Celetuk Septi.

"Elo kenal nggak sama Pak Arya—eh, bukannya itu Pak Arya?"

Mereka berempat sontak menoleh menuju arah pandang Septi. Betapa terkejutnya Maudy, mimpi buruknya menjadi kenyataan. Pria yang selama ini ia hindari malah berada sedekat ini. Maudy berusaha menetralkan raut wajahnya. Sebisa mungkin tak memperlihatkan bahwa ia sedang ketakutan. Makan siang ini terasa lebih lama karena tiap detiknya, Maudy merasa nafasnya menjadi lebih berat.

***

Semenjak acara makan siang itu, Maudy menjadi lebih diam dari biasanya. Kepalanga sibuk memikirkan cara bagaimana agar tidak bertemu dengan Arya. Dia hanya karyawan biasa sementara Arya adalah salah satu jajaran tinggi di kantor ini, jadi mereka tak mungkin bertemu bukan?

Maudy juga masih meyakinkan diri bahwa ini semua hanya kebetulan semata. Benar, yang harus ia lakukan hanya diam. Berdiam diri hingga Arya tak melihat dirinya berada di sini. Sebisa mungkin ia akan mengurangi berbagai kemungkinan dirinya akan bertemu dengan pria itu. Maudy harus bisa, pasti dia bisa.

Ide itu berjalan mulus, hingga Maudy merasa tenang. Hingga kejadian tak terduga terjadi.

"Maudy, silahkan menemui Pak Arya di ruangan beliau. Kamu sudah ditunggu sama Pak Arya."

Perintah itu bagaikan sengatan di sekujur badannya. Ia harus menemui Arya, jika tak ingin orang-orang mengansumsikan hal buruk padanya. Ketiga rekan kerjanya bahkan sudah memandanginya raut khawatir. Mereka sudah hafal betul bagaimana keras dan galaknya Arya saat berbicara. Maudy menatap mereka bertiga dengan senyuman tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja.

End Of Beginning [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang