Semenjak pertemuannya dengan Rissa, membuat Arya kembali diam. Sudah dua bulan berlalu, namun pria itu masih aja enggan nembagi keresahannya kepada Maudy. Wanita itu hanya diam, menunggu sang suami sudi bercerita. Ia memutuskan untuk sabar menunggu.
Di acara syukuran tujuh bulanan, acara diadakan di rumah orang tua Maudy. Dihadiri oleh beberapa kerabat dari pihak Maudy pula. Arya tak mengundang kerabatnya, mereka semua memutuskan untuk berhenti berhubungan dengan Arya. Pria itu ingat sekali, dahulu saat diri ya butuh bantuan. Semuanya menghindar, layaknya ia adalah wabah penyakit.
Pun di acara ini, banyak kerabat Maudy yang terang-terangan menghindarinya. Menolak untuk dia salami. Arya menjadi tak enak hati. Memilih duduk menjauh dari ruang yang penuh keramaian. Duduk tenang memandangi taman kecil di rumah Maudy. Menunggu hingga acara tersebut selesai, sehingga orang-orang tak perlu lagi melihatnya.
Maudy menyadari keanehan tersebut. Sebenarnya, ia juga tak ingin acara syukuran ini diselenggarakan. Apalagi begitu melihat kerabatnya memandang Arya dengan wajah sinis, menolak bersaliman dengan sang suami. Hati Maudy terasa sedih. Mereka harusnya tahu manusia itu bisa berubah menjadi lebih baik.
Maudy menghampiri Arya, mengelus pelan kedua pundak yang hari ini terlihat turun. Maudy melihat kedua tangan Arya bergetar hebat. Sepertinya, serangan panik di tubuh Arya kembali lagi. "Ke kamar dulu, yuk."
Arya mengangguk, berjalan beriringan bersama istri tercintanya menuju kamar. Setelah sampai, sepasang suami istri ini mendudukkan tubuh mereka. Maudy mulai mengelus wajah sendu Arya. Air matanya mengalir, tak dapat dicegah lagi.
"Hei, kenapa nangis?"
Arya menyeka air mata milik sang istri. Tidak, jangan lagi menangis. Arya tidak senang melihat istrinya bersedih. Maudy harus bahagia.
"Aku nggak tega liat kamu sendirian. Kenapa mereka semua ngehindarin kamu. Harusnya mereka ngatain aku bodoh aja karena aku yang ngajak kita balikan."
"Kenapa gitu ngomongnya? Kamu nggak bodoh. Kamu nggak boleh dikatain begitu. Ini memang konsekuensi aku, dari perbuatan aku yang dulu. Memang udah seharusnya aku dihindari. Jangan nyalahin diri kamu sendiri, ya?"
"Aku nggak suka kamu begini!" Sentaknya pada Arya.
"Kamu berhenti nyalahin diri sendiri, dong! Aku sedih liat kamu diem aja. Rasanya aku mau nangis di hadapan semua orang. Kenapa mereka yang nggak kenal kamu malah ngejauhin? Padahal aku udah biasa aja! Aku udah ikhlasin semuanya."
Arya segera meraih tubuh Maudy. "Mungkin kerabat kamu belum tau. Nggak apa-apa, aku nggak masalah. Udah, jangan sedih lagi. Kasian si kembar denger mamanya nangis."
"Kamu jangan kepikiran terus sama omongan Mbak Rissa! Dia itu lagi projecting dengan semua kesedihannya. Jadinya limpahin ke kamu. Padahal hidup dia bukan tanggung jawab kamu lagi! Kamu cukup tanggung jawab sama diri sendiri, keluarga dan pekerjaan aja. Katanya kamu mau sembuh? Kenapa sekarang nyerah lagi?"
"Maudy ..."
Arya mengelus perut besar sang istri. "Aku nggak tau harus gimana lagi. Aku cuma mau bilang, aku bener-bener menyesal. Aku minta maaf sama kamu untuk semua rasa sakit yang kamu rasakan. Kamu jadi melewati masa sulit sendiri. Hamil dan melahirkan Lion sendirian. Kamu juga merawat Lion dengan baik sampai sekarang. Entah sampai kapan pun, aku nggak bakal pantas dapat maaf dari kamu. Aku memang bodoh, baru menyadari semua kesalahan disaat udah hancur. Aku baru menginginkan kamu ada, setelah kamu pergi."
"Aku sekarang udah sama kamu. Jangan sedih lagi."
Maudy berkata dengan lembut. Mengusap wajah Arya yang masih saja terlihat sendu. Sepertinya Arya akan menangis sebentar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Of Beginning [TAMAT]
ChickLitHidup adalah pilihan. Begitu pun hidup dari Maudy. Ia harus memilih, bertahan dengan hati atau pergi dengan logikanya.