32. Jangan Bersedih

1.4K 115 5
                                    

Hari ini, keluarga kecil itu berencana untuk mengunjungi makam orang tua Arya. Semenjak bertemu kembali dengan sang suami, Maudy sama sekali belum mengunjungi makam kedua mertuanya. Semenjak menikah, banyak sekali alasan Arya untuk menolak ziarah.

Kali ini, tak ada lagi alasan untuk Arya berkilah. Dengan perasaan gusar, menemani anak dan istrinya untuk berziarah. Otaknya dipenuhi apakah nanti menunggu di luar atau ikut bersimpuh di atas pusara kedua orang tuanya.

"Mikirin apa?"

Arya tersadar dari lamunannya, kembali ke dunia nyata setelah suara Maudy mengalun indah.

"Nggak, kok."

"Ayo cepetan turun, kamu bengong aja daritadi."

Arya mengangguk, mengekori anak dan istrinya yang berjalan lebih dulu. Lion berjalan seakan memimpin perjalanan. Tidak ada raut ketakutan sama sekali. Tangannya sudah memegang bunga untuk ditabur pada pusara kakek neneknya. Begitu juga Maudy yang berjalan santai tak ada beban sama sekali.

Sementara Arya sudah mulai tersiksa. Keringat dingin membanjiri wajahnya. Kakinya mulai berat untuk melangkah. Lebih buruk lagi, kedua tangannya terasa bergetar. Ia rasa tak mampu melanjutkan perjalanan.

"Maudy ..."

Suara pria itu tercekat, makin lirih. Kenangan masa lalu terputar begitu saja. Suara sang ibu yang menyalahkannya. Bagaimana Arya melihat tubuh kaku ibunya. Memori tentang sang ayah yang sakit-sakitan juga terputar. Terasa sakit bagi Arya. Kedua orang tuanya mati karena dirinya.

"Maudy ..."

Kepala Arya terasa bagai dipukul batu. Suara dalam mimpi kembali menyapa pikirannya. Ia hanya mampu memegangi kepala, manahan rasa sakit.

Gara-gara kamu, kami harus mati!

Kalau tidak karenamu, pasti Mama nggak miskin.

Semua salah kamu, semua gara-gara kamu!

Tangan Arya memegang dada yang terasa nyeri. Memukul-mukul dadanya dengan keras. Rasanya sungguh tersiksa. Sakit yang sempat hilang kini kembali mendera. Nafasnya tercekat. Arya merasa kesulitan untuk bernafas. Tubuhnya menolak pasokan oksigen yang ingin masuk. Perlahan tubuhnya terasa lemas.

"Maudy ... Lion—"

Arya kehilangan kesadaran. Tidak mendengar teriakan sang anak yang sudah berlari menghampirinya. Tidak melihat wajah khawatir dari Maudy yang berjalan tergopoh-gopoh. Gelap, semuanya gelap. Rasa sakit menguasai tubuh Arya.

***

Maudy mengusap wajah Arya yang masih dibanjiri keringat dingin. Ibu hamil itu berada di ruang kamar miliknya. Dengan Lion yang sudah meringkuk disamping sang ayah. Wanita itu panik ketika mendapati sag suami tergeletak di atas tanah. Buru-buru ia menghubungi pekerja di rumahnya. Hingga sekarang, Arya masih betah tertidur.

Serangan panik, tiba-tiba menyerang Arya. Maudy rasa pemicunya adalah makam kedua orang tua sang suami. Ia tak tahu bagaimana rasanya, namun melihat raut kesakitan dari Arya, Maudy yakin bahwa rasanya pasti menyakitkan. Sudah bertahun-tahun terlewat, namun ayah dari Lion itu belum mampu melewati semua rasa sakit yang didera. Maudy rasa, cukup bagi Arya menerima hukumannya. Tak sanggup lagi melihat Arya menderita sendirian.

Maudy menggenggam tangan sang suami. Dahulu, jemari-jemari itu terbungkus perban. Membuatnya merasa ngilu saat melihat Arya mencoba untuk menggerakkannya. Orang akan melihat Arya sebagai pribadi yang tenang. Tidak tahu saja, dibalik itu banyak luka dan tangisan. Suaminya pandai sekali menyembunyikan rasa sakitnya dari orang lain. Maudy tidak suka Arya yang merasa pantas dihukum begini.

End Of Beginning [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang