Maudy merapikan isi tas miliknya, memeriksa lagi apakah ada barang yang tertinggal. Berlanjut ia segera bergegas untuk berangkat menuju tempat kerja barunya. Wanita yang sudah rapi mengenakan setelan formal itu segera memasuki mobil yang tentu sudah berisi supir pribadi kepercayaan keluarganya.
Maudy memulai kehidupan karirnya di usia yang terbilang tidak muda, tidak pula tua. Ini semua karena paksaan sang ibunda yang menyuruhnya untuk mencoba bekerja. Padahal Maudy sudah bersikeras bahwa ia tak ingin menjadi pegawai, ia sudah nyaman tinggal di Selandia Baru. Namun apa daya, sang ibu dengan segala titahnya mewajibkan ia bekerja atau uang bulannya akan berhenti mengalir. Begitulah awal ia memulai bekerja di usia 29 tahun.
Mudah saja, dengan semua koneksi yang dimiliki keluarganya. Maudy langsung diterima bekerja. Ya meski sebagai staff biasa, tak mengapa. Toh Maudy hanya bekerja sebagai formalitas. Ia masih menerima uang dari keluarganya. Setidaknya ia harus bertahan satu bulan. Jika memang lingkungan kerja tak cocok baginya, maka ia akan mundur lalu memulai usaha sesuai keinginannya.
Maudy yang telah sampai di depan gedung menjulang. Langsung melangkahkan kakinya dengan mantap memasuki gedung tersebut. Maudy segera menemui atasan yang akan mengenalkannya dengan isi kantor tempatnya bekerja.
"Maudy, kamu beneran anaknya Pak Juna?"
Maudy hanya mengangguk, sebenarnya ia tak nyaman jika ditanya masalah keluarga begini. Pasti orang-orang akan mendekatinya karena latar belakangnya saja. Maudy sudah muak, sejujurnya.
"Iya, Pak. Saya anaknya."
Pria itu lantas tersenyum dengan cerah, "Nitip salam ya, buat Pak Juna. Kamu tenang aja, saya bakal bimbing kamu kerja dengan baik."
Maudy hanya tersenyum simpul, sudah ia tebak. Atasannya ini baik sebab tahu darimana ia berasal. Maudy berharap setidaknya dirinya mampu bertahan satu bulan saja di kantor ini.
***
Maudy bersyukur, kehidupan di kantor tak seburuk bayangannya. Meski dia masih berusaha beradaptasi dan membaur, ia tak mengalami kesulitan. Yang menjadi kesulitan adalah mendapatkan teman. Maudy menyadari bahwa semua rekan kerja tak ingin berdekatan dengannya. Memang mereka tak menunjukkan secara langsung, namun Maudy sudah tahu dari gelagat para pekerja itu. Ya sudahlah, intinya selama Maudy tak berbuat buruk. Ia akan diam saja, mereka diam begitu pun Maudy. Bekerja ya bekerja, teman ya teman.
Entah ini hanya firasat Maudy atau memang benar terjadi. Wanita itu merasa bahwa dirinya diberikan tugas tak seberat pekerja lain. Tugasnya hanya mengetik beberapa dokumen, mengantar dokumen ke ruangan atasannya. Tak pernah ia bekerja hingga di rumah. Tentu ia merasa tak enak hati. Mungkin itu yang menjadi penyebab rekan kerjanya tak mau berdekatan dengannya. Sebab jelas sekali bagaimana perbedaan atasan dalam memperlakukannya.
"Gimana, kerjaan kamu enak? Kamu nyaman kan di sana?"
"Iya. Mama kenapa bilang kalau aku anaknya Ayah? Aku nggak mau diperlakuin berbeda, Ma."
Sinta hanya menghembuskan nafas dengan panjang. Meyakinkan Maudy itu sulit. Sekarang anak bungsunya ini malah protes karena diperlakukan berbeda. Sinta melakukan ini semua demi Maudy. Anaknya ini tak pernah paham.
"Mama lakuin itu biar kamu nyaman kerja. Kalau mama nggak nitipin kamu, nanti kamu nggak betah terus keluar dari kantor."
"Ma! Kan aku udah bilang dari awal kalau aku nggak mau kerja di kantor. Aku maunya ngelakuin apa yang aku mau. Kenapa Mama selalu maksa aku buat ngelakuin hal yang nggak aku suka?"
"Maudy, kamu tau kan. Kalau Ayah sama Mama udah nggak muda lagi. Setidaknya kami berdua ingin kamu berusaha untuk bekerja. Mama lakuin ini biar kamu mandiri."
"Selama di luar negeri, aku juga bisa hidup sendiri tanpa kerja kantoran. Pokoknya aku cuma bertahan selama satu bulan. Setelah itu aku bakal keluar dari kantor itu. Aku mau balik lagi ke NZ."
Sinta memegang tangan Maudy, berusaha meyakinkan anaknya sekali lagi. "Kamu kan belum lama pulang, Nak. Mama sama Ayah ingin melihat kamu di sini terus. Jangan pergi lagi, ya?"
Maudy menghempaskan tangan sang ibunda, "Mama pasti tau alasan aku pindah! Dan aku bakalan tetap pindah. Aku di sini cuma sakit hati doang. Aku mau bahagia tanpa diganggu orang lain."
Maudy pergi meninggalkan Sinta. Wanita itu bergegas menuju kamarnya. Ia sengaja membanting pintu kamar tersebut. Ingin memberi tahu bahwa ia marah. Maudy tidak suka jika kedua orang tuanya mengatur dirinya. Terakhir ia menjadi anak yang patuh, dirinya malah terjebak dalam kubangan kesedihan yang panjang. Butuh waktu tidak sebentar hingga jiwanya kembali pulih kembali.
Bersambung.
Notes:
Sengaja nulis chapter 1 doang buat pemanasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Of Beginning [TAMAT]
Literatura KobiecaHidup adalah pilihan. Begitu pun hidup dari Maudy. Ia harus memilih, bertahan dengan hati atau pergi dengan logikanya.