(19) Don't Worry, It Won't Be So Long

338 67 1
                                    

Ayesha bangun pagi-pagi sekali di sel penjara kecil tempat dia tinggal sekarang. Ruangan sempit yang dia bagikan dengan beberapa narapidana lain terasa terlalu ramai untuknya. Dinding-dinding dingin penjara mencerminkan kehampaan dan kesendirian yang terasa begitu nyata di dalam hatinya. Dia melangkah menuju kamar mandi kecil di sudut sel, membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba mengusir rasa lelah dan kecemasan yang menyelimutinya.

Setelah itu, Ayesha duduk di tempat tidur kecilnya, mencoba merapikan pikirannya sebelum hari dimulai. Dia merasa gerakannya terbatas, terutama dengan perutnya yang semakin membesar karena kehamilan. Tak terasa, sudah selama tiga bulan dia kembali menjalani kehidupan di sini. Usia kandungannya yang tadinya berusia 3 bulan,  kini sudah memasuki 6 bulan. Dan yang mengkhawatirkan,  tensi darahnya selalu tinggi karena menjelang sidang putusan terkait kasus yang menimpanya.

Namun, dia mencoba untuk tetap bersyukur karena setidaknya dia masih bisa bergerak dan melakukan aktivitas dasar. Pun Derrel selalu mendukungnya walau pertemuan mereka benar-benar terbatasi.

Setelah sarapan yang sederhana yang disediakan oleh petugas penjaga, Ayesha sering menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur'an atau menulis dalam jurnal kecilnya. Dia menemukan kedamaian dalam kata-kata suci dan menulis adalah cara baginya untuk menyalurkan semua emosinya yang bergejolak di dalam dirinya. Melalui jurnalnya, dia mencurahkan pikiran, kekhawatiran, dan harapannya yang terdalam.

Sementara itu, Ayesha juga sering kali dipanggil untuk sesi konseling dengan konselor penjara. Meskipun awalnya enggan, dia menemukan bahwa berbicara tentang pengalaman traumatisnya membantu untuk melepaskan beban yang dia rasakan. Konseling memberinya ruang untuk merenung dan menghadapi masa lalunya dengan lebih baik.

Namun, yang paling sulit bagi Ayesha adalah saat dia duduk sendiri di selnya, terjebak dalam pikiran yang gelap dan cemas. Dia merindukan Derrel dengan setiap serat keberadaannya. Setiap detik tanpa kehadirannya terasa seperti siksaan bagi Ayesha. Dia merindukan tatapan lembutnya, sentuhan hangatnya, dan suara lembutnya yang menghibur.

Namun, kunjungan Derrel ke penjara terbatas oleh aturan yang ketat. Mereka hanya diizinkan bertemu sesekali, dan bahkan itu hanya dalam waktu singkat. Setiap kali Derrel datang, Ayesha merasa seperti dunianya menjadi lebih terang. Mereka berbicara dengan penuh kasih, berbagi cerita tentang kehidupan di luar penjara, dan merencanakan masa depan mereka bersama.

Saat itu, Ayesha merasa lega dan dikuatkan oleh cinta mereka yang tak tergoyahkan. Meskipun dia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, tapi dengan Derrel di sisinya, dia merasa bahwa dia bisa menghadapi segala sesuatu. Mereka berjanji untuk tetap bersama, tidak peduli seberapa sulit atau berat situasinya.

Namun, tidak hanya Derrel yang membuat Ayesha tetap bersemangat. Keluarga Ayesha juga memberinya dukungan yang besar. Mereka sering kali mengunjungi Ayesha di penjara, membawa kabar baik dan candaan yang membuat hari-harinya sedikit lebih cerah. Ayesha sangat bersyukur memiliki mereka di sisinya, dan dia berjanji untuk menjadi ibu yang baik bagi anak mereka.

Di antara kunjungan dan sesi konseling, Ayesha juga menghabiskan waktu dengan mengerjakan beberapa pekerjaan kecil di dalam penjara. Meskipun terbatas, dia berusaha untuk tetap produktif dan menjaga pikirannya tetap sibuk.

Namun, setiap malam sebelum tidur, Ayesha terjebak dalam pikiran gelapnya. Dia berdoa kepada Allah untuk memberinya kekuatan dan ketabahan untuk menghadapi cobaan ini. Meskipun masa depannya masih dipenuhi dengan ketidakpastian, dia bersumpah untuk tetap tegar dan berjuang untuk kebahagiaannya dan kebahagiaan anak yang akan datang.

Dengan hati yang penuh harap dan cinta yang tak terbatas, Ayesha merangkul takdirnya dengan penuh keyakinan. Dan sambil menunggu hari kebebasannya, Ayesha memimpikan masa depan yang cerah bersama keluarga yang dia cintai.

"Ayesha, ada kunjungan, " kata salah seorang petugas sipir.

"Berasa manusia paling peting sedunia," sinis tahanan lain. Tak lupa sedikit menendang tempat duduk Ayesha.

"Lastri, gak usah usil lu! Masing-masing aja sih," tegur Dian. Seorang tahanan akibat masalah pinjaman online.
"Buru, Sha. Gak usah tanggepin dia. Dia cuman iri sama lu!" Ayesha tersenyum sungkan. Dengan langkah pelan, dia berjalan untuk memastikan siapa yang menjenguknya.

Senyumnya seketika mengembang saat mendapati sang suami dengan banyak sekali bingkisan. Bahkan suaminya itu juga membawakan bingkisan snack untuk tahanan lain. Tak lupa selipan tulisan. Tolong, perlakukan  Ayesha dengan baik. Jangan ganggu dia. Dia harus menjaga kandungannya.

"Mas ...." seru Ayesha senang.

"Assalamu'alaikum kesayangannya Mas," sapa Derrel.

"Wa’alaikumussalaam, senengggg."

"Alhamdulillaah, " kata Derrel. Sedikit maju untuk menyapa janin di dalam perut sang istri. "Adek bayi rewel?"

"Kalau malam sekarang agak susah tidur, Mas. Serba salah posisi. Jadi suka gelar selimut di bawah. Soalnya kasurnya terbatas," ungkap Ayesha membuat hati Derrel berdenyut nyeri. Di saat dirinya tidur di kasur yang empuk. Istrinya harus melewati semua ini.

"Sayang, tolong bertahan sebentar lagi, ya? Insyaallah,  it won't be so long.  Mas dan yang lain sedang berusaha. Supaya Echa bisa balik tidur dengan nyaman di rumah baru kita," lirih Derrel.

"Mas jangan nangis, Echa nggak apa-apa kok," hibur Ayesha. Dia tidak mau melihat Derrel bersedih hati.

Yaa Rabb ... Tolong bantu Derrel untuk bisa membebaskan istrinya dari sini.

"Waktu kunjungan sudah habis!" Derrel bergegas memeluk dan mencium kening sang istri.

"Tunggu, Mas, ya? Insyaallah, Mas akan berusaha supaya bisa segera jemput Echa."

Ayesha mengangguk dalam pelukan sang suami. Dengan berat hati, dia menjauhkan diri dari Derrel.

"Echa sayang banget sama Mas," bisik Ayesha.

"Mas juga sayang sama Echa."

(Bukan) Rumah Singgah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang