(23) We Try To Keep All Our Promises But ....

439 73 20
                                    

Ayesha terbangun di tengah malam dengan napas yang terengah-engah, seperti sebuah tangisan yang tak terucapkan. Dia merasa sesak napas, seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Dalam kegelapan malam, ketakutan menyeruak dalam pikirannya, menyelimuti dirinya seperti kabut yang menutupi langit malam.

Tubuhnya terasa lemah, dan keringat dingin membasahi kulitnya saat dia berjuang untuk bernapas dengan baik. Setiap tarikan napas terasa sulit dan menyakitkan, seolah-olah udara yang masuk ke paru-parunya tidak cukup. Ayesha meraba-raba kegelapan, mencari kehadiran Derrel yang biasanya berada di sampingnya di malam-malam seperti ini.

Dengan gemetar, Ayesha memanggil nama Derrel dengan suara parau, mencari kehadirannya di ruangan yang gelap gulita.

"M-mas ...." katanya agak susah payah.

Saat Ayesha meraba-raba kegelapan dengan tangan gemetar, tiba-tiba sebuah sentuhan hangat menyentuh bahunya. Aroma yang dikenalinya begitu baik, aroma yang selalu membawa ketenangan dalam situasi tegang. Itu adalah Derrel, yang tanpa diketahuinya sudah berada di sampingnya sejak beberapa saat yang lalu.

"M-mas?" desis Ayesha dengan napas tersengal-sengal, suaranya lemah namun penuh dengan kecemasan. Matanya masih terpejam rapat, tetapi dia bisa merasakan kehadiran suaminya begitu dekat dengannya.

"Iya, sayang, aku di sini," jawab Derrel dengan suara lembut yang merangkul Ayesha dalam kegelapan. Buru-buru dia menyalakan lampu."Kenapa? Ada yang sakit? Apanya yang sakit?"

Ayesha mengangguk dengan perlahan, menempatkan tangannya di atas tangannya yang besar dan hangat. Meskipun terdengar rapuh, kehadiran Derrel di sampingnya memberinya sedikit kelegaan. Dia merasa tidak lagi sendirian dalam pertempuran melawan sesak napas yang menyerangnya.

"Dada ... sesak ... napas ..." bisik Ayesha, matanya masih tertutup rapat, tubuhnya gemetar dalam kelemahan. Derrel segera merespons dengan lembut, mengelus-belus punggung Ayesha dengan penuh kasih sayang.

"Tenang, sayang. Kita siap-siap, ya. Kita langsung berangkat ke rumah sakit." Ayesha menganggukkan kepalanya.  Kehangatan dan kehadiran Derrel di sampingnya membawa ketenangan yang dibutuhkannya dalam saat-saat seperti ini.

Derrel segera mengangkat tubuh Ayesha dengan hati-hati, merangkulnya erat-erat saat mereka bersiap-siap menuju rumah sakit. Meskipun rasa cemas melanda hatinya, Derrel berusaha menunjukkan kekuatan dan ketenangan agar Ayesha tidak semakin panik. Dia bahkan tidak sempat untuk berpamitan pada Mamanya. Sebab, kondisi Ayesha sangatlah mengkhawatirkan. 

"Coba tarik nafas lagi pelan-pelan, ya, sayang?" bisik Derrel dengan suara lembut saat mereka bergerak keluar dari rumah menuju mobil. Ayesha meraih erat tangan suaminya, mencari kekuatan dalam sentuhan hangat yang diberikan olehnya.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Derrel terus menggenggam tangan Ayesha dengan erat, memberinya dukungan yang tak tergantikan. Meskipun masih penuh dengan kecemasan, Derrel berusaha menenangkan Ayesha dengan penuh kasih sayang, meyakinkannya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Dia juga menghubungi Dehan dan Ardan kalau Ayesha masuk rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, Derrel dengan sigap membawa Ayesha ke unit gawat darurat. Dia tidak pernah melepaskan tangannya dari Ayesha, terus memberikan dukungan dan ketenangan selama proses pemeriksaan medis.

Sesak napas yang dirasakan Ayesha semakin parah seiring dengan perkembangan preeklampsia yang tidak terkontrol. Pada tahap ini, setiap tarikan napas terasa seperti usaha yang sangat berat, seolah-olah udara yang masuk ke dalam paru-paru tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya yang sedang hamil.

Ayesha merasakan beban yang semakin berat di dadanya, membuatnya sulit untuk mengambil napas yang dalam dan memenuhi kebutuhan oksigen tubuhnya. Setiap tarikan napas terasa dangkal dan terganggu, sehingga membuatnya merasa kekurangan udara meskipun berusaha untuk bernapas dengan tenang.

(Bukan) Rumah Singgah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang