(18) Take Me Home, I'm Fallin' :')

472 88 18
                                    

══════⊰⊰✿✿﷽✿✿⊱⊱══════

Setelah mendengar kabar dari Derrel bahwa dia tengah mengandung, Ayesha terdiam dalam kebingungan yang mendalam. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai kemungkinan dan ketakutan, termasuk salah satunya adalah kemungkinan bahwa anak yang dikandungnya bukanlah milik Derrel, melainkan milik laki-laki yang telah menyakiti dan menciderainya secara fisik juga psikologis.

Perasaan campur aduk itu membuatnya merasa tercekik oleh kegelapan yang menakutkan. Bagaimana dia bisa menjelaskan keberadaan bayi itu kepada Derrel? Apakah dia harus mengungkapkan kebenaran yang pahit tentang kejadian yang menyedihkan itu? Dan yang lebih penting lagi, bagaimana dia bisa menghadapi kenyataan bahwa dia mungkin membawa anak dari orang yang telah membuat hidupnya menjadi neraka?

Dalam kebimbangan yang melanda pikirannya, Ayesha merasa terjebak dalam dilema yang tak terkendali. Tidak ada jawaban yang jelas, tidak ada jalan keluar yang mudah. Hanya rasa takut dan keputusasaan yang terus menghantuinya.

Namun, di tengah kegelapan yang menyelimuti pikirannya, ada juga sedikit cahaya harapan yang masih bersinar. Harapan bahwa meskipun bayi itu mungkin bukanlah milik Derrel, tetapi dia tetap bisa menjadi ibu yang penuh kasih dan melindungi anak itu dengan segenap hatinya. Mungkin, kehadiran bayi itu bisa menjadi titik terang di tengah kegelapan yang mengelilingi Ayesha, membangkitkan semangatnya untuk bertahan dan melawan segala rasa takut dan keputusasaan yang menghantui.

Dengan hati yang berat dan pikiran yang gelisah, Ayesha berusaha menghadapi kenyataan yang pahit tentang kehamilannya. Meskipun takdirnya mungkin tidak sesuai dengan yang dia harapkan, dia bertekad untuk tetap kuat dan bersiap menghadapi segala yang akan datang, demi kebahagiaan dan keselamatan anak yang ada di dalam rahimnya.

Setelah sekian lama terdiam, Ayesha memberanikan menatap Derrel yang entah bagaimana dia bisa diizinkan untuk membersamainya. Kehidupan Ayesha saat ini terasa seperti terperangkap dalam pusaran masalah yang tak kunjung usai. Berada di rumah sakit khusus untuk tahanan, meskipun bisa dianggap sebagai tempat yang menyediakan perawatan medis yang dibutuhkan, tapi jadi lingkungan yang cukup menekan bagi Ayesha.

Ayesha merasa terbatas dalam ruang geraknya dan merasa terjaga secara terus-menerus karena pengawasan ketat oleh petugas keamanan. Perasaan terisolasi dan kehilangan kontrol atas hidupnya mungkin semakin menguat, terutama dengan kondisi psikologis yang sudah rapuh akibat trauma yang dia alami.

Tapi, selain dari pertemuan ini. Ayesha belum tentu bisa bicara dengan leluasa bersama suaminya.

"Mas, bagaimana kalau bayi yang aku kandung ini ternyata bukan milik Mas?" lirih Ayesha.

Derrel terdiam sesaat sebelum akhirnya berucap. "Saat menikah dengan kamu pun, aku dalam keadaan gak terjaga, Ayesha. Aku pernah berbuat salah, bahkan kehidupan masa laluku. Sangat kelam. Kamu ... Kamu gak melakukan ini semua atas kehendakmu. Kamu justru menjadi korban. Kamu tau? Dalam agama kita, seorang perempuan yang harus melewati situasi menyakitkan ini. Bila saja memang anak yang dikandung itu milik orang jahat itu, maka aku tetap punya hak atasnya. Aku suami kamu, sah di mata hukum dan agama. Gak ada yang perlu diragukan lagi, istriku sangat menjaga kehormatannya sampai harus menghadapi semua ini. Tapi yang harus kamu camkan, tidak ada embel-embel anak orang lain, sebab yang dikandung kamu saat ini hanyalah anak kita. Kita yang akan merawat dan membesarkannya bersama, oke? Jangan khawatir, sayang. Aku bersama kamu," kata Derrel seraya mengecup punggung tangan sang istri.

Ayesha merasakan kelegaan yang amat dalam. Matanya yang tadinya berkabut oleh ketidakpastian, kini bersinar dengan cahaya harapan yang baru saja disematkan oleh suaminya. Dia merasakan getaran di dalam dadanya, getaran yang menggambarkan kedalaman perasaannya. Ketika Derrel mengecup punggung tangannya, Ayesha bisa merasakan hangatnya sentuhan itu menyelimuti hatinya yang terluka. Meskipun bibirnya tidak berkata-kata, ekspresi matanya mengungkapkan segalanya.

Mata Ayesha memandang Derrel dengan penuh rasa syukur dan kasih sayang. Dia bisa merasakan kekuatan dalam kata-kata Derrel, dan itu memberinya semangat baru untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Dalam tatapannya yang lembut, terpancar keyakinan yang mendalam bahwa bersama Derrel, dia akan mampu mengatasi segala rintangan yang menghadang.

Dengan gemetar, Ayesha mengangkat tangannya dan menyentuh lembut wajah Derrel. Dia merasakan kehangatan dalam sentuhan itu, sebuah hubungan yang tak terucapkan namun begitu kuat antara mereka berdua.

"Cha ... Di mataku, kamu akan tetap seberharga itu. Bagaimana mungkin aku gak berpikir begini? Wanita yang kucintai ini melindungi pintu surgaku, bahkan saat ini dia juga mengandung buah hati kami. Apa ada alasan untuk aku nggak mencintai kamu?" Ayesha memejamkan matanya.

Selama ini ... Ayesha selalu bertanya-tanya. Bagaimana rasanya dicintai dengan begitu hebatnya? Bagaimana rasanya dicintai dengan trauma-trauma yang dia miliki? Bagaimana rasanya dicintai dengan penuh pemakluman yang disertai bimbingan agar menjadi lebih baik?

"Jangan banyak berpikir, ya? Dokter bilang kamu nggak boleh stress, karena tekanan darah tinggi kamu selalu naik. Aku tau, sekarang memang semuanya kayak nggak ada kejelasan. Kamu terjebak di satu keadaan yang membuat kamu kesulitan. Kamu merasa lagi jalan di jalan yang buntu. Tapi, kamu harus ingat. Kamu nggak sendiri, Cha. Mas, Papa, juga Dehan berjuang agar kamu dapat keadilan. Mas akan minta tolong sama Dehan supaya bawa semua kebutuhan kamu. Mas juga udah konsultasi sama dokter juga, yang mana untuk makanan. Mas menyediakan sendiri buat kamu, bayi kita butuh banyak nutrisi. Echa kalau ada permintaan apapun, bilang sama Mas, ya, sayang?"

Ayesha menatap Derrel yang berbicara dengan sangat lembut kepadanya. Laki-laki ini ... Menjadi jawaban atas doa-doanya selama bertahun-tahun. Ketulusan, sikap lembutnya membuat Ayesha benar-benar dicintai.

"Echa mau nangis?" tawar Derrel. Jujur, hatinya pun merasa sakit karena istrinya harus melewati semua ini.

"Mas ...."

"Iya, nggak apa-apa. Mas di sini, Echa nggak sendiri kok," bisik Derrel menenangkan sang istri. Masa bodoh dengan anggota polisi yang berjaga dan menatap mereka. Derrel hanya memikirkan kondisi istrinya. "Laa hawla wa laa quwwata illa billaah, kita mohon pertolongan Allah. Semoga Allah memudahkan urusan kita, ya, sayang."

"Echa mau pulang sama Mas, Echa nggak mau jauh-jauh dari Mas. Tapi, Echa harus sabar 'kan?"

"Iya, sayang ... Echa harus belajar buat sabar. Dengan seizin Allah. Mereka yang bersabar itu selalu jadi pemenangnya. Nggak ada yang perlu Echa khawatirkan, oke?" Derrel dengan lembut mendekatkan tangannya ke wajah Ayesha yang dipenuhi oleh air mata. Ia mengusap dengan lembut setiap tetesan air mata yang bergulir di pipi Ayesha, seolah ingin menghapus semua rasa sakit dan kegelisahan yang menghantuinya. Gerakan tangannya begitu lembut dan penuh kasih, dan saat usapan tangannya menyentuh kulit Ayesha, terasa seperti sentuhan magis yang mampu menghibur dan menenangkan hati yang terluka. Derrel tidak perlu berkata-kata, karena kehadirannya dan setiap gerakan lembutnya sudah cukup untuk membuat Ayesha merasa aman dan terlindungi.

"Mas ... Terimakasih sudah membuatku merasa utuh," bisik Ayesha. Derrel mengusap puncak kepala sang istri.

"Bahagiaku itu kamu, Cha. Tentu aku akan memperjuangkan kamu sampai tugasku di dunia ini usai. Jadi, kamu gak perlu berterima kasih. Karena aku sedang memperjuangkan kebahagiaanku sendiri," balas Derrel membuat hati Ayesha menghangat.

══════⊰⊰✿✿✿✿✿✿✿✿✿✿⊱⊱══════

(Bukan) Rumah Singgah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang