بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
___________________Mobil sedan berwarna hitam legam itu melaju mulus, berhenti tepat di depan rumah dua lantai yang berdiri anggun dengan balutan cat putih abu-abu. Pintu mobil terbuka, menampakkan seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang terikat rapi, diikuti oleh seorang wanita berusia sekitar 38 tahun dan seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun yang tampak tak sabar.
"Yeeey! Rumah baru!" seru Toni, adik Keyra, dengan mata berbinar-binar.
Keyra hanya melirik Toni sekilas, wajahnya memancarkan rasa enggan yang tak bisa disembunyikan. Sambil menghela napas, ia mulai menurunkan barang-barang dari bagasi, membantu ibunya dan sang sopir yang sudah menunggu.
"Bagusan juga rumah yang di Bandung," gumamnya setengah hati.
Raya, sang Bunda, tersenyum simpul melihat Keyra yang tampaknya masih belum menerima sepenuhnya keputusan pindah ini. Sementara itu, Toni sudah berlari keliling halaman, seakan ingin mengenal setiap sudut dari rumah baru mereka.
"Raya!"
Sebuah suara yang akrab menyapa, membuat Raya menoleh cepat. Senyum lebarnya langsung merekah ketika melihat siapa yang datang.
"Winda!"
Suara Raya penuh kehangatan saat ia segera menghampiri sosok yang sudah lama tak ia temui. Mereka berpelukan erat, seakan jarak dan waktu tak pernah memisahkan.
"Kamu apa kabar?" tanya Winda setelah mereka melepas pelukan yang penuh nostalgia itu.
"Alhamdulillah, baik. Kamu dan suami gimana?"
"Alhamdulillah, baik juga."
Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, seolah turut merayakan pertemuan dua sahabat lama ini. Rambut Raya yang halus tersapu angin, menambah sentuhan lembut dalam momen yang indah.
"Akhirnya kita bisa tetanggaan lagi," ujar Winda dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.
"Iya, Win. Kamu harus sering-sering mampir ya," balas Raya dengan antusias.
"Udah pasti! Masa rumah sebelahan tapi jarang ketemu."
Mereka tertawa bersama, mengingat kembali masa-masa saat mereka masih sering menghabiskan waktu bersama tanpa beban. Persahabatan mereka begitu erat, seperti saudara yang tak terikat oleh darah.
Perhatian mereka kemudian teralih pada seorang remaja laki-laki yang melintas di hadapan mereka dengan langkah tenang dan rapi. Winda segera memanggilnya.
"Cakra! Sini bentar!"
Remaja itu, yang ternyata adalah putra tunggal Winda, segera menghentikan langkahnya. Cakra, dengan wajah yang teduh, berhenti di depan ibunya dan Raya. Wajah tampannya dihiasi kulit sawo matang, hidung yang mancung, dan sorot mata yang tenang. Dia mengenakan baju koko krem yang dipadukan dengan sarung hitam dan peci yang melengkapi penampilannya.
"Kenalin, ini tante Raya, sahabat mamah dari Bandung," ujar Winda dengan riang.
Raya menatap Cakra, '𝘐𝘯𝘪 𝘵𝘰𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘞𝘪𝘯𝘥𝘢 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢𝘪𝘯,' ucapnya dalam hati seraya mengulurkan tangan dengan senyum hangat.
"Panggil tante Raya aja, ya."
Namun, alih-alih menjabat tangan, Cakra hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada, menunduk sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRA KEEGAN TARIQ (Revisi)
Teen Fiction"Hatiku yang memilihmu, dan penggeraknya adalah sang Pencipta," kata Cakra. "Saya yakin, kamu adalah yang terbaik dari sebaik-baiknya wanita di luar sana," lanjutnya.