Bab Sembilan.

14 1 0
                                    

🎧 Dampingi cerita ini dengan mendengarkan ' Tapi Tahukah Kamu '🎵 .




"Paket!"

Afin bergegas beranjak dari rebahannya untuk menyambut makanan yang sudah ia pesan sejak tiga puluh menit yang lalu. Kedua tangannya menggapai grandel dan mendorong pintu ke dalam.

Afin menatap wajah om-om kurir tersebut. "Lah, cepet amat datengnya. KurirFood tadi ilang kemana?" tanyanya sambil celingak-celinguk. Soalnya, yang terpampang disini adalah muka Rendi.

"Gua yang ambil pas di gerbang tadi. Kebetulan dia nyari blok rumah ini."

"Berapa?" Afin hendak menyerahkan beberapa lembar uang.

Rendi berdecak. "Gak usah! Hari ini gua aja."

"Jangan gitu! Ini kan yang ngajak gua kok lo yang bayar sih. Kaga bisa!" paksa Afin menaruh uang tersebut di saku Rendi.

"Jadi patung!" Rendi menunjuk Afin kemudian berlari mengicir masuk.

Afin bergeleng kepala. Lalu mendorong pintu tanpa menggrendelnya.

Rendi menaruh bungkusan makanan di atas meja. Matanya melirik kiri kanan hingga kolong meja, ia tidak melihat piring dan sendok di sana.

"Piring sama sendoknya mana?" tanya Rendi.

Sekejap, Afin tiba dengan apa yang dicari. Ia menyerahkannya pada Rendi.

"By the way, rahang lo gimana?"

Afin menoleh dan memperlihatkan wajah sebelah kanannya. "Agak mendingan. Tapi kalo gua senyum jadi sakit lagi."

"Siapa yang kasih P3K?" tanya Rendi sekaligus menebak jika cedera tersebut sudah diberikan pertolongan pertama.

"Jiwa. Pas lagi latihan tadi," terang Afin. Sambil menyentuh area cedera tersebut.

Rendi terpelanga kaget. "Lah? Bisa ya tuh cewek berbuat baik? Kirain bisa judes doang."

"Kaga ah. Dia baik. Malah mau ngajak gua cerita," bela Afin.

"Sweet amat. Gimana sikap dia sama lo beberapa kali latihan ini?"

"Gitu lah. Latihannya udah lumayan, tendangannya juga kece. Ampe terpental gua, haha!" tawa Afin, namun kembali berdesis karena kesakitan.

"Kayaknya tinju gua berlebihan ya? Tapi bantingan gua ga seberapa dibanding lo sih, Fin," ujar Rendi yang ingin tertawa. Tetapi tidak bisa karena rasa bersalah atas derita temannya sekarang.

"Betul. Lo juga ngebanting gua kan? Kok yang sakit cuma rahang ini sih."

Dor!

Joddy mengagetkan keduanya dengan menerjang pintu rumah tersebut. Tanpa ketukan dan salam, ia menyelinap masuk. Cowok itu datang membawa gaya, yaitu berpakaian jeans, kacamata hitam dan sebuah vape di tangannya.

"DJ! Putar musik!"

Ia berjoget ria seakan melepas beban seharian. Sebentar, Joddy punya beban apa memangnya? Beban lemak yang tak kunjung jadi daging? Creepy deh.

"Hey, brother! How are yoy today, hm? Abis kesambet di rooftop, are u okay now?" sapa Joddy dengan menyenggol bahu kawannya itu. Kemudian memulai lirikan pada meja makan dimana banyak hidangan terbaris rapih.

"Wow! Gak salah kan gue dateng sekarang? Untung belum habis nih santepan." Ia berjulur lidah seakan semuanya muat dalam satu tegukan.

"Gausah geer! Ini jatahnya satu-satu. Jangan rakus lo!" seru Rendi. Menepis tangan Joddy yang ingin mendarat.

ARLODY (Love In Virtual)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang