Bab Tiga Puluh Dua.

8 0 0
                                    

Jiwa berlari untuk menemui polisi dan Mama-nya di ruang pengaduan. Dengan nafas terengah-engah ia memukul meja polisi tersebut.

"Bagaimana? Apa benar pelakunya di sel?"

"NGGA! Le - lepasin Kak Marrisa! B - bu - bukan dia!"

Layla bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk punggung Jiwa. "Sayang, kamu kenapa? Apa kamu diancam sama dia?"

"Engga Ma! Beneran itu bukan pelakunya."

"Tidak mungkin salah. Yang kami tangkap adalah Marrisa, dimana pada TKP hanya ada 3 pegawai, dan satu yang bersalah masih berstatus DPO."

"Ngga Pak... Dia ngga salah, tolong cabut laporannya!"

"PAK POLISI, SIAPA YANG BERANI MEMENJARAKAN KAKAK SAYA?"

Pekikan tersebut terdengar familiar bagi Jiwa, ia takut menoleh, karena di belakangnya ada Bianca yang dibutakan oleh amarah.

Polisi hanya menatap dua orang dihadapannya membuat Bianca langsung mengerti.

"Maaf ya Bu, Mba, atas dasar apa kalian menangkap Kakak saya?" tanya Bianca baik-baik.

Sontak Layla mengalihkan pandangannya. "Karena dia sudah berani melakukan percobaan pembunuhan pada anak saya!"

Bianca membelalakkan matanya. Ia kaget siapa yang ia hadapi saat ini. Saat bersamaan pula Jiwa perlahan menatap matanya.

"J - Jiwa? Lu?"

"Bianca? Jadi yang ditangkap Kakak kamu?"

"Tante!" Bianca sontak memeluk Layla bak seorang anak yang menangis di rangkulan sang ibu. Ia menumpahkan segala air matanya di dekapan Layla. Bianca tak punya siapa-siapa lagi kecuali Marrisa. Ia takut hidup sebatang kara.

"Jiwa. Kakak gue ngelakuin apa sama lu, hm?" tangis Bianca, isakannya makin kuat.

Segera, Jiwa merangkul bahu Bianca dan menenangkannya. "Bian, dengerin gue ya? Gue tau di dunia ini lo sayang kakak lo lebih dari apapun. But please, sewaktu gue nongki sama Kak Afin ada pegawai yang nyampurin racun ke minuman gue, dan gue inget siapa namanya. Sumpah Bi, gue ngga tau kalo dia kakak lo."

"Tapi kakak gue ngga salah Jiw, lu tau kan apa aja yang gue ceritain ke lu tentang dia? Apa lu pikir dia tega ngelakuin itu semua?" kata Bianca yang mulai kehabisan suaranya.

"Iya Bi, iya. Gue ngerti. Tunggu proses hukum, ya?"

"Gak Jiw, gak! Gue mau sekarang dibebasin! Lu gak ragu kan?"

"Gabisa Bianca. Ada proses hukumnya. Setidaknya kamu tunggu sampai kakakmu diinterogasi," kata Layla.

"Sabar Bi sabar. Ini udah malem, yuk nginep di rumah gue aja?"

"Gak. Gue mau disini nemenin kakak gue."

"Oke. Gue temenin lo."

Namun Layla hendak menghalangi niat baik anaknya itu, ia menarik lengan Jiwa yang hendak menjauh. "Jangan, kamu pulang aja," bisiknya.

"Tapi Ma-"

"Ikut pulang. Pak polisi tolong jagain Bianca ya, gak baik kalau dia disini malam-malam. Bahkan jika dia ingin sama kakaknya, tolong jangan diacuhkan. Besok kami kembali kesini lagi."

"Siap Bu."

Layla dan Jiwa beranjak meninggalkan kantor polisi tersebut. Jiwa terus menoleh ke belakang, menatap kosong punggung bungkuk milik Bianca. Hari ini, ia melihatnya sangat hancur.

"Bian... I'm sorry."

🤍🤍🤍

"Amanat saya pagi ini tidak banyak, atas kekalahan sewaktu itu namun yang namanya keburukan akan terus terungkap. Dan akhirnya, Dargamada selalu bersinar. Saya selaku kepala sekolah sangat bangga kepada Jiwa Marrisa Pharsalia karena sudah mempertahankan juara tiga tahun berturut-turut dalam Olimpiade Olahraga Nasional cabang Taekwondo!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARLODY (Love In Virtual)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang