WHAT'S GOING ON WITH ME?
Jip bergerak membelah keheningan sepanjang jalanan berdebu menuju pinggiran kota Mogashidu. Hari semakin gelap, hawa semakin dingin di kala senja merayap dan aku kekhawatiranku pada Xaxi dan Xayi semakin tinggi.
Hari ini adalah hari dimana mereka seharusnya bahagia. Pertama kali mereka memiliki orang tua lagi setelah beberapa lama mereka kehilangan orang tua kandung mereka. Seharusnya kami sudah tertawa di jet pribadi milik Tobias.
Orang negro yang fasih berbahasa Inggris itu duduk diam di samping kemudi. Sesekali dia mengepulkan asap dari cerutu yang dihisapnya dan tertawa yang bagaikan gonggongan anjing herder mengerikan bersama anteknya yang menyetir. Anteknya yang menyetir besarnya sama dengan pria negro dengan bahasa Inggris fasih itu namun dia tidak pernah sekalipun berbicara dalam bahasa Inggris.
Ragu-ragu aku berpaling ke samping kiriku dan menemukan Tobias menatap sinis dua orang yang duduk di depan seperti hendak ingin memakannya bulat-bulat.
"Tobias," panggilku lemah sambil terus menekan bahuku yang berdarah dan rasa perih itu semakin hebat rasanya.
Tobias menoleh dan pandangannya melunak saat mata kami bertemu. Dia menggeser duduknya lebih dekat padaku, mengalungkan tangannya di sepanjang punggung hingga aku merasakan kehangatan dari rengkuhannya. Aku tidak memintamu seperti ini, batinku berucap.
"Kita akan baik-baik saja,"
"Yah, aku tahu. Selama kau ada di sisiku, kau dan aku akan baik-baik saja." Gumamnya sepelan mungkin agar mereka tidak mampu menjangkau percakapan kami.
"Aku khawatir dengan mereka," kataku sambil terus menahan rasa sakit.
"Mereka akan baik-baik saja. Kau merasa lebih hangat?" Dekapan Tobias semakin erat dan kehangatan berlipat-lipat. Tubuhnya yang kekar dan kokoh ditambah dengan degup jantungku yang meningkat sudah membuatku tubuhku panas.
Jari-jari Tobias mengelus lembut lengan bawahku, hembusan napasnya menerpa ujung kepalaku. "Bagaimana lukamu?" Tobias menjadi lebih tenang dibandingkan saat kejar-kejaran tadi. Dia terlihat sudah mampu mengatur emosinya.
"Aku baik," kataku pelan hampir berupa bisikan. Kecupan singkat mendarat di keningku dan membuat tubuh menjadi terbakar.
Ditengah penyanderaan? Ini gila!
Kelelahan menyerang dan mataku terasa berat. Terakhir kali pandanganku mampu menangkap memori adalah perjalanan kami masih panjang. Belum ada satupun rumah yang ada di pinggiran jalan dan kelopak mataku akhirnya tertutup. Aku tertidur dalam rengkuhan hangat bosku yang selalu beraroma memabukkan. Wangi mint yang menyejukkan dan melelapkan.
***
"Alice," mataku membuka cepat saat panggilan lirih itu bersuara.
"Apa kita sudah sampai?" Aku menggeliat tidak nyaman karena seluruh tubuhku terasa nyeri. Posisi tidur yang tidak bagus ditambah dengan luka ... Tunggu! Aku meraba-raba bahu kananku dan merasakan sebuah ikatan kuat. Aku menoleh dan menemukan darahku sudah berhenti mengalir. "Siapa ...?" Dan hanya dengan kode senyuma dari Tobias aku mengerti. Tapi bagaimana bisa dengan mereka yang menyandera kami.
"Perlu sedikit sogokan untuk mereka berhenti di sebuah toko dan mengobati lukamu." Jelasnya menatapku seolah aku pasien yang sekarat dan harus segera diselamatkan.
Jip yang kami tumpangi mulai melambat. Sebuah bangunan super tua namun masih dirawat dengan baik menyambut kedatangan kami dalam suasana yang sanggup membuat bulu kuduk merinding. Banyak pasukan disiagakan dibalik suramnya tembok-tembok bangunan itu. Aku mampu merasakan lebih dari selusin jenis pistol maupun revolver dan senapan panjang lainnya mengarah pada kami.
YOU ARE READING
Double Me Agent
RomanceKetika hasrat yang membara bertekuk lutut pada cinta menjadi alasan sebuah pembalasan dendam. Manakah yang akan menjadi pemenang?