NOT ME
Suasana kedutaan Inggris di Kenya mendadak seperti diserbu puluhan mobil polisi. Banyak orang yang melewati depan kedutaan dengan kendaraan mereka berhenti karena rasa ingin tahu. Beberapa polisi berkulit hitam maupun putih berdiri di samping pintu mobil sambil memegangi walkie talkie dan berbicara sahut-menyahut. Duta besar Inggris untuk Kenya juga terlihat sedang berdiri dengan wajah kebingungan ditemani oleh dua orang berjas hitam. Aku yakin berita mengenai penyanderaan kami sudah diketahui pihak kedutaan.
Jip kami mendekati gerbang. Dua polisi menghadang kami. Satu dari mereka, yang sepertinya berpangkat lebih tinggi dari polisi satunya yang terlihat dari seragam yang berbeda dan lencana yang menjadi kepastian perbedaan tingkat, mengetuk kaca jendela tempat Dou mengemudi. "Maaf, Tuan, Kedutaan tidak dapat menerima tamu hari ini," kata Polisi yang bertubuh tinggi. Suaranya tegas.
"Ada masalah apa, Dou?" Tobias menyambar dingin ucapan polisi yang menegur Dou.
Polisi itu terlihat salah tingkah ditimpa tatapan Tobias yang sinis. Aku merasa kasihan pada polisi itu. Tentu saja pria berseragam itu takut pada milyarder muda itu. Aku tahu niat polisi itu adalah mengamankan lokasi kedutaan ditambah berita penyanderaan milyader Inggris pasti akan membuat relasi Kenya dengan Inggris terancam jika saja Tobias mengalami bahaya. Keistimewaan lainnya bagi orang-orang yang berada dalam level tetra kaya raya adalah mampu mempengaruhi kerjasama bilateral negara.
Polisi itu mundur beberapa langkah sambil menunduk, tidak berani menatap penumpangnya. "Maaf," ucapnya hampir berupa bisikan. Suara yang awalnya tegas menghilang hanya dengan pengaruh beberapa kata yang keluar dari mulut Tobias. Polisi itu menoleh pada rekannya yang lain lalu berteriak, "Buka gerbangnya!"
Polisi lainnya, yang sedari tadi berdiri tegap di depan mobil kami, tersentak dan cepat-cepat membuka pintu gerbang dengan memencet sebuah tombol di dalam pos penjagaan secara patuh. Pintu gerbang membuka pelan secara otomatis.
Richard berlari mendatangi mobil kami yang bahkan belum berhenti. Tepat di pintu sebuah bangunan megah, Tobias turun dengan anggun meski semalaman kami berada dalam posisi mencekam. Pintu belakang mobil terbuka. Tobias, dengan hati-hati, mengangkat tubuh mungil Xayi yang masih saja terlelap sejak beberapa menit keluar dari perbatasan Somalia dan Kenya. Anak kecil itu pasti sangat lelah dan tidak tidur semalaman. Bocah itu digendong lalu dibawa masuk oleh Tobias.
Xaxi, yang sudah bangun, mengikutiku masuk tanpa melepaskan gandengannya dari tanganku. "Jangan takut," ucapku dengan bahasa Inggris sambil terus menggenggam erat Xaxi. Xaxi mengangguk. Kubawa anak itu menuju kamar dimana Tobias tuju -kamar Tobias di gedung kedutaan- bersama Xayi yang sama sekali tidak terganggu dengan langkah Tobias yang berbunyi di sepanjang koridor.
Waktu cepat berjalan dan sudah menunjukkan pukul sembilan pagi waktu setempat. Empat jam yang lalu kami bebas dari penyanderaan. Xaxi dan Xayi tidur di ranjang Tobias.
"Kau sudah makan, Al?" Tobias duduk tenang di meja kayu yang besar berbentuk persegi panjang dengan kaki menyilang. Matanya mencermati beberapa kertas.
Aku, yang sudah merasa segar sehabis mandi, menyahut dengan cengiran, "Belum."
Tobias menghentikan kegiatannya kemudian mendongak pelan, "Aku tidak ingin kau sakit. Kau mengerti?" Pria yang selalu membuatku meleleh kini bangkit. Pakaian yang dikenakannya kali ini kasual dengan warna coklat terang pas sekali dengan warna kulitnya dan berjalan menuju pintu. "Kita sarapan."
"Bagaimana dengan Xaxi dan Xayi?" tanyaku ragu sekilas melirik kedua bocah itu yang terlelap tenang.
Tobias berhenti, mulutnya mengulum senyum lalu beranjak mendatangiku.
YOU ARE READING
Double Me Agent
RomanceKetika hasrat yang membara bertekuk lutut pada cinta menjadi alasan sebuah pembalasan dendam. Manakah yang akan menjadi pemenang?