Chapter 11

3.8K 88 14
                                    

GO BACK TO LONDON

Penerbangan menuju Inggris lancar. Tidak ada turbulensi yang membuat Xaxi dan Xayi ketakutan. Bahkan mereka tertidur pulas sepanjang perjalanan di tempat tidur pesawat pribadi miliki Tobias. Sebagai sebuah kejutan dalam perjalanan, Laura tidak membuntuti tunangannya itu melainkan selalu berada di sampingku. Kami berbincang mengenai banyak hal.  

Laura begitu antusias menceritakan bagaimana dia dan Tobias pertama kali bertemu. Ayah Tobias, Tuan Currey, mengundang Laura sebagai tamu spesialnya. Aku baru tahu jika Tuan Currey adalah seorang dokter dan Laura adalah salah satu pasiennya. Dan saat menjadi tamu istimewa itulah Laura bertemu dengan Tobias yang saat itu sedang menghadapi kuliah semester akhir. 

Beruntung sekali wanita itu dipertemukan dengan lelaki berhati baik namun memiliki pikiran yang takdapat dibaca. Seandainya aku ... ah, lagi-lagi berimajinasi. 

Sejak kapan aku mulai mengandai-andai? Satu-satunya pengandaian yang selalu menghiasi hidupku adalah seandainya aku bertemu dengan Dean, maka aku tahu apa yang harus aku lakukan. 

Mengulitinya terlebih dahulu? Oh, tidak! Siksaan fisik taklagi menjadi opsi pertamaku. Dean tahu bagaimana rasa sakit fisik itu. Yah, dia tahu. Dia pengkhianat MI6 dan pasti dia juga merasakan apa yang pernah aku alami selama pelatihan agen. 

Sekali lagi, aku adalah orang jahat. Jangan mengira bahwa seorang Alice terlihat lemah karena baru saja bertemu dengan Tobias lantas melupakan apa yang menjadi tujuan utama hidupnya. Tobias adalah saranaku mendekati Dean meski hingga saat ini aku masih belum menemukan titik cerah dari kedua premis itu. Aku tidak mungkin secara terang-terangan mencari informasi mengenai Dean. Aku tidak ingin terlihat mencurigakan. Meski ... yah, hatiku sepertinya terpaut pada sosok taipan besar Inggris Raya itu. 

Tidak sedikit pun aku merasa sedih saat berbincang dengan Laura. Namun, saat dia mulai mendatangi Tobias dan berbincang-entah apa itu-aku akan kembali murung. Satu-satunya motivasi agar membuat suasana muram itu kembali ceria saat mengingat bahwa Laura sekarat. Begitu jahatnya seorang Alice hingga berpikiran bahwa satu-satunya pesaing memperoleh Tobias ternyata orang pengidap otak stadium tiga dan kecil kemungkinannya Laura sembuh. Haruskah aku bersorak? Yah, hati kecilku yang letaknya aku sendiri pun taktahu menjerit kegirangan. 

"Kau baik-baik saja?" Sebuah tangan menepuk pundakku pelan namun mantap. Kepalaku yang semula menikmati gumpalan awan putih yang menutup wilayah bawah negara kerajaan Inggris menoleh pada Tobias. Manik matanya yang berwarna abu-abu menatap heran. Pandangannya selalu intens dan fokus hingga membuat kakiku selalu bergetar saat harus ditimpa oleh matanya yang seolah-olah menusuk itu. 

Dengan respon yang selalu saja lambat bila berhadapan dengannya, aku mengangguk seperti orang paling tolol di dunia. "Aku baik, Sir!" 

Tobias memiringkan kepalanya dan sebelah ujung mulutnya terangkat lalu dengusan kecil keluar. Itu membuatku panik juga bingung. Apa aku memang terlihat sangat tolol? 

"Sir?" Tobias menggeleng. "Ada apa denganmu, Al? Setelah bertemu dengan Laura, kau menjadi jauh lebih sopan kepadaku," jelas Tobias lalu mengambil duduk di kursi sebelahku. 

"A-aku ... aku tidak ingin Laura berpikiran bahwa aku pegawai yang tidak sopan." 

"Dan apa Laura berpikiran seperti itu?" Mata Tobias tidak pernah sekalipun berpaling saat dia berbicara padaku. 

Aku menggeleng dan dengan cermat, aku berusaha menelan salivaku; meredakan kegugupan. Wajah kami takkurang dari lima belas inci dan jarak itu sukses membuatku kembali menelan saliva untuk kedua kalinya. 

"Sir, Anda seharusnya tidak melakukannya-" 

"Melakukan apa?" 

Satu ... dua ... tiga .... 

Wajah Tobias mendekat ... ingin aku turut serta dalam gerakannya yang menggiurkan itu tapi ... terlambat. 

Meski otakku ingin berhenti tapi hasratku lebih menguasai. Bibir Tobias melumat milikku dan saat dia menggigit ujung bibirku, aku mengerang tertahan sambil meremas kain celanaku. 

Tidak sampai di situ, Tobias mulai mendaratkan tangannya lalu mengelus perlahan pipiku. Bibirnya mulai turun menuju leherku. Ada yang salah. Ini salah. Tobias milik Laura dan aku hanya pekerjanya. Ini harus berhenti tapi ... aku menginginkannya. Sangat ingin memilikinya. 

"Apa kau merindukan ini, Alicia Keith?" panggilnya disela desahan menggiurkan. Matanya yang abu-abu semakin berkabut penuh hasrat. 

Dia benar. Aku merindukan saat dia menyentuh sisi wanitaku dan mampu meredam segala pikiran liar masa laluku yang sudah membunuh banyak orang. Tiba-tiba saja aku teringat pada bocah yang mati kutembak dulu. Rasa ngilu menyerang dan Tobias menatapku curiga. 

"Ada apa, Al?" Kerut dahinya terbentuk. Untuk urusan anak kecil, aku memang sangat lemah. K sepertinya gagal mendidikku untuk menghadapi bocah tanpa kenal ampun. Bagaimana bisa aku masih merasakan kasihan pada manusia yang bahkan belum lama mencecap dunia? 

"Al?" 

Lamunanku tersadar dan saat aku menemukan wajah Tobias yang cemas, aku memalingkan ekspresiku dari tatapannya yang tidak mampu aku lawan dan memilih untuk mengaca pada jendela pesawat jet pribadi milik Tobias. 

"Apa semua aturan yang kuberikan telah menguap dari ingatanmu, Al?" Suara Tobias berubah ketus. "Aku ingin kau selalu menatapku saat aku berbicara." 

Bodoh! Aku lupa soal itu. 

Segera kulihat wajahnya yang kini menegang menahan kesal. Aku meringis melihatnya lalu sedetik kemudian kekakuan di wajah memesona itu melunak. "Maaf," kataku. 

"Kau kumaafkan. Mungkin karena kejadian yang menggairahkan barusan membuatmu ingin lebih. Iya, kan?" Senyuman menggoda datang dari mulutnya. Aku tahu dia mencoba membuatku tersipu malu. Dan tentu saja, dia berhasil membuat wajahku memerah bagai buah tomat. "Kau mau lagi?" 

Mataku melebar. Apa-apaan ini?! Tentu saja aku mau! Dalam hati aku tertawa liar membayangkan adegan tadi berlanjut ke ranjang. Tapi sayang, ada Laura di sini. Aku seperti wanita tak tahu diri. Menggoda tunangan orang. 

Hei! Bukan aku yang memulai melainkan Tobias. Jadi siapa yang salah kali ini? 

Baiklah, aku yang tidak bisa menahan diri. Tapi apa salahnya aku begini? Seumur hidup, kuhabiskan dengan aksi brutal dan tembak-menembak serta begitu banyak darah yang tumpah. Sekarang bolehkah rasa yang tidak terdefinisi ini yang tumpah? Rasanya antara sakit juga senang. 

Tobias masih duduk di sampingku tanpa ada suara yang mengisi. Hanya tatapan dariku dan dia. Hanya dari tatapan seolah-olah aku berbicara padanya dan dia berbicara padaku. Kali pertama lagi yang lain. 

"Al ...." Tanpa harus dikomando aku segera sadar bahwa panggilan itu adalah sinyal bahaya. Aku berdiri cepat dan menemukan Laura berdiri di pintu kabin sambil membawa dua gelas dan satu botol berisi cairan berwarna putih yang kutebak adalah anggur. 

Kurasakan Tobias mendesah lalu ikut bangkit dan berjalan meninggalkan kami. Sebelum dia menghilang, Laura memanggilnya. Raga Tobias berbeda kali ini. Tak lagi berhasrat. Matanya menjadi sendu. 

"Aku ingin kau bergabung dengan kami," pinta Laura ceria. 

Tobias menatapku lalu beralih pada Laura. "Kita akan mendarat sebentar lagi. Aku-" 

"James, pilot kita, tahu bagaimana cara mendarat, Sayang," potong Laura. 

Seperti bola pingpong, aku menyaksikan sepasang tunangan yang saling berdebat. Satu si dingin Tobias dan si-aku benci mengatakannya-cantik Laura. Dan aku tahu siapa yang akan memenangkan pertandingan ini. 

"Baiklah," gumam Tobias; tak mampu mengelak.

Double Me AgentWhere stories live. Discover now