The Worst Thing
Tingkat keamanan di sekitar kedutaan tidak berkurang. Polisi masih berlalu-lalang. Laporan tentang penyanderaan serta investigasi yang dilakukan kepolisian memakan waktu hingga sore hari. Dan hingga saat ini aku tidak menampakkan diri di hadapan Tobias dan memilih berjalan-jalan di taman belakang bangunan yang bergaya klasik itu. Xaxi dan Xayi sedang menghabiskan waktu bersama ayah dan calon ibu baru mereka.
Suasana taman itu sepi. Berbeda jauh dengan kebisingan yang ditimbulkan halaman depan kedutaan. Taman itu cukup luas. Rumputnya berwarna hijau hampir kekuningan. Setidaknya aku bisa melihat bahwa terjadi perbedaan yang mencolok saat aku melintasi Somalia yang warganya kekurangan air.
Semenjak aku menjadi pegawai Tobias, entah mengapa aku menjadi manusia yang peduli pada hal yang sebelumnya tidak pernah menyentuh nuraniku. Aku tersenyum tipis sambil berjalan tak tentu arah menghayati bahwa terjadi perubahan dalam hidupku selama belum genap satu bulan bekerja dengan Tobias.
Ada yang tergerak di lubuk yang sebelumnya belum terjamah. Setitik rasa kasihan juga ragu mulai mengelayuti. Pikiran ini mulai dicampuri oleh sesuatu yang dinamakan perasaan. Intuisi mulai tumpul.
Selepas napas cepat mengisi keheningan. Sebuah bangku yang terletak di bawah pohon yang tidak meranggas terlihat menggiurkan untuk didatangi. Langkah gontaiku membawa raga yang seperti tidak bertenaga ini menuju bangku yang terbuat dari kayu cemara yang terlihat sangat kokoh.
Mataku terpejam beberapa saat setelah membaringkan diri. Aku mencoba merasakan hembusan udara kering di benua hitam ini membelai pelan sisa rambutku yang tidak terkuncir semua. Hitam sehitam hatiku yang semula berwarna. Sepertinya takdir memang mengharuskanku pada lajur yang sama. Berbuat keji tanpa ada embel-embel belas kasihan, peduli, dan mungkin cinta.
Cukup lama aku memejamkan diri hingga bebunyian dari hembusan angin tak lagi kudengar karena terlelap.
***
"Tapi dia anak-anak, K!" aku berteriak memberontak.
Tubuh K menegang, matanya menyalang. Geraknya cepat-cepat dan kini sudah berdiri dengan pongah lalu berseru hingga membuat gendang telingaku nyaris sobek, "Dia mata-mata yang terlatih, Al!"
Aku menggeleng berusaha menolak perintahnya. "Tidak! Aku tidak mau!"
Wajah K memerah. Otot-otot di pelipisnya menonjol dan matanya melotot. "Jangan lemah!"
"Aku tidak lemah!" teriakku frustasi.
Tangan K menghentakkan bahuku ke depan dengan kasar hingga aku nyaris terjungkal. Pandanganku teralih dan kulihat seorang anak laki-laki berusia mungkin tujuh tahun menangis terisak di atas sebuah kursi. Tubuhnya terikat oleh seutas tali tambang yang menjeratnya.
Anak itu terus menerus menangis tapi tidak memberontak. Dia menatap kakinya tanpa memandang kami. Dia takut. Aku bisa merasakannya.
"Tembak dia!" K berkata pelan namun gelombang suara perintahnya mengirimkan kengerian yang membuat tanganku tidak sanggup mengangkat revolver semi otomatis yang digenggamkan K sebelumnya secara paksa dan siap ditembakkan.
Tanganku gemetar dan seperti tidak memiliki daya untuk mengangkatnya. Suara K yang berteriak tidak lagi mampu kedengar. Keringat sudah mengalir deras dan satu-satunya suara yang mempu indera pendengaranku tangkap adalah suara isak kecil yang datang dari mulut bocah lelaki dengan mulut tersumpal.
'Aku tidak sanggup. Sungguh, K! Dia masih anak-anak.' Dan sebulir airmata menuruni lekuk pipiku yang mendingin.
Rasa perih lalu muncul di pipi kananku saat aku membuka mata. Tamparan keras dari K membuat terpelanting ke belakang dan sebuah tanpa sengaja terpantik dari recolver itu dan tubuhku tak lagi mampu digerakkan saat peluru panas itu menyarang di kepala bocah laki-laki itu dan raga kecil itu menunduk tak bernyawa. Darah muncrat hingga ke tembok belakang anak lelaki itu. Kepalanya sudah hancur
YOU ARE READING
Double Me Agent
RomanceKetika hasrat yang membara bertekuk lutut pada cinta menjadi alasan sebuah pembalasan dendam. Manakah yang akan menjadi pemenang?