Chapter 12

4.4K 129 29
                                    

KILLING WEAPON

Tobias menyantap hidangan makan paginya dengan lahap. Sudah seminggu sejak peristiwa penyanderaan di Somalia, Xaxi dan Xayi seolah-olah sudah melupakan kejadian mengerikan itu walaupun kadang-kadang di beberapa malam, mereka masih bermimpi buruk.

Sama seperti ayahnya, kedua bocah itu juga makan dengan lahap. Kosakata bahasa inggris mereka meningkat pesat. Mereka berdua adalah anak yang cerdas. Anggapan bahwa kekurangan gizi menyebabkan anak di benua hitam menjadi bodoh tidaklah benar. Mereka berdua telah membuktikannya.

"Kau suka makanannya?" Tobias mengulurkan beberapa pancake berlapis madu di atas piring Xaxi.

Xaxi mengangguk antusias sambil terus mengunyah makanannya. Dan aku, yang duduk di seberang Tobias, memperhatikan bagaimana pria yang jelas belum menikah itu sangat lihai dan telaten merawat kedua buah hatinya.

Lelaki ini luar biasa. Beruntung kedua orang tuanya memiliki anak berhati bak malaikat ini.

"Kuharap kau menghabiskan makananmu." Tobias menatapku tajam. Berbeda sekali saat dia menatap kedua anaknya.

"I-iya," balasku cepat dan mengakibatkan tersedak.

Pesona Tobias memang bius luar biasa bagiku dan tentu ini mengkhawatirkan bagi konsentrasiku.

"Hati-hati, Mom!" Xaxi berkata pelan dan masih terlihat ragu saat mengucapkannya dalam bahasa inggris.

Kuberikan anggukan semangat lalu melanjutkan makan. Xayi masih anteng di samping kiri Tobias dan Xaxi yang duduk di sebelah kanan Tobias telah berdiri dan menenteng tas punggungnya. Mereka bersiap untuk kembali ke asrama sekolah.

Xaxi dan Xayi secara khusus memulai hari kedua mereka bersekolah di sekolah terbaik di Inggris. Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa mereka, Laura mengusulkan untuk menempatkan mereka di asrama agar Xaxi da Xayi dapat belajar lebih intens. Awalnya, Tobias menolak dengan ide itu. Dia berpikir memanggil guru pribadi sudah sangat cukup bagi mereka. Namun sekali lagi, perempuan itu mampu memberikan alasan yang logis sehingga seorang Tobias, pengusaha sekaligus aset berharga Inggris Raya itu tunduk.

"Mereka harus memiliki teman. Aku tidak ingin mereka terus menerus berada dalam penthousemu yang seperti penjara," kata Laura saat itu. "Mereka dapat pulang di akhir pekan."

Tobias kalah telak. Aku mengerti apa yang dipikirkan Tobias saat itu. Dia hanya ingin selalu melihat kedua anaknya. Hatiku serasa dipelintir mengingat mereka bukanlah bukan anak kandung Tobias. Tapi Tobias memerlakukan mereka dengan luar biasa. Sosok ayah yang sebenarnya kurindukan. Aku iri melihat Xaxi dan Xayi yang memiliki ayah begitu perhatian.

K perhatian padaku. Dia sangat baik. Aku tersenyum dalam hati. Nasibku dengan kedua bocah itu sama. Kami sama-sama dirawat oleh ayah yang bukan biologis kami tapi itu sudah cukup. Baik K maupun Tobias telah melakukan hal paling hebat sebagai seorang ayah. Meski K mendidikku secara ketat. Aku tahu, K ingin membuatku lebih kuat. Membuat hatiku tidak mudah dijatuhkan. Membuat seorang Alice tidak mudah putus asa lalu menangis.

"Kami berangkat, Dad!" seru Xaxi lalu mengecup pipi Tobias begitu pula Xayi yang baru saja menghabiskan madunya dan aku secara tidak sengaja mendengus keras-menahan tawa-melihat pipi kiri Tobias membekas madu dari mulut Xayi.

"Sampai jumpa akhir pekan, Dad!" seru Xayi.

Xaxi dan Xayi diantar oleh Dou menuju sekolah.

Kami-Tobias dan aku-masih melanjutkan acara sarapan kami dalam diam. Kecanggungan masih saja menyelimuti saat tak ada siapapun yang menjadi orang ketiga di antara kami.

Double Me AgentWhere stories live. Discover now