The Enemy Appearing
Pedesaan tempat masa kecil Tobias sesuai dengan perkiraanku. Meski lelaki itu hidup bergelimang harta, aku berani bertaruh bahwa orang tuanya tidak akan sekaya yang dibayangkan. Atau mungkin mereka memang kaya tetapi lebih memilih hidup sederhana daripada bermewah-mewah. Terlihat dari rumahnya yang tidak begitu besar jika melihat bagaimana luasnya penthouse milik bujangan kaya raya itu. Banyak rumah-rumah kecil menjadi ciri khas pedesaan pinggiran Manchester.
“Terkejut, Nona?” Tobias bertanya.
Aku menggeleng tak acuh. Tebakanku benar. Pria seperti Tobias; pekerja keras dan sukses—dengan baik hati sebagai poin tambahannya—pastilah dididik dari keluarga yang tidak suka menghamburkan uang.
“Apa kau sudah mulai berspekulasi bagaimana keadaan keluargaku?” tanyanya lagi dengan sorot mata jahil; tentu saja. Dia sedang mengetesku.
Aku mengangguk, jujur. Ayah yang bekerja keras menghidupi keluarganya, Ibu yang senantiasa merawat anaknya dengan baik—Tobias sebagai buktinya—dan mungkin ditambah saudara yang pastinya tak jauh berbeda dari Tobias—dari segi hati.
“Aku sungguh tidak suka saat kau hanya merespon dengan anggukan dan gelengan,” Tobias mulai menggerutu dan itu malah membuatku mendengus tertawa. “Oh! Kau sengaja membuatku kesal, heh?”
“Emosimu benar-benar perlu diatur, Tuan Tobias terhormat!” Tawaku meledak. Mata Tobias memejam sesaat dan mencoba mengatur napasnya. Sungguh, ini adalah Tobias yang di luar dugaan.
Tobias mendengus. Seulas senyum sedikit terbentuk di mulutnya. Menyenangkan saat melihat bosmu tersenyum seperti itu meski bosmu tidaklah serupawan Tobias sekalipun. Sudah lebih dari dua jam Tobias, Doug—yang duduk di depan sebagai supir—dan aku menghabiskan waktu melewati beberapa area ladang hijau yang membentang. Musim semi memang membawa kehangatan. Angin yang berhembus dari jendela kaca mobil limousin Tobias yang berwarna hitam elegan ini membawa ketenangan layaknya pedesaan di pinggiran Britania Raya. Sesekali Tobias memejamkan mata saat angin membelai rambutnya yang selalu kelihatan berantakan. Rambut hitam legamnya yang seksi selalu menggoda mataku—mata para perempuan, lebih tepatnya! Aku meyakini lelaki itu jarang sekali pulang ke rumah orang tuanya. Tentu saja, kesibukan mampu membunuh siapa saja.
“Aku rindu ibu,” gumam Tobias. Sikapnya begitu kekanak-kanakan untuk seukuran pengusaha sepertinya. Aku memang baru mengenalnya sebulan. Waktu yang mungkin belum cukup untuk mengenal karakter seseorang apalagi seperti Tobias.
Saat kerinduan itu terucap dari mulut Tobias, tiba-tiba saja mataku terasa panas. Dia merindukan ibunya. Aku melihat langit yang sudah berubah oranye gelap pertanda petang segera menjelang. Lelaki itu merindukan ibunya. Ibu yang masih ada dan siap memeluknya saat dia mengalami kesedihan. Saat kehilangan yang mungkin saja pernah Tobias rasakan. Sedangkan aku, aku bahkan tidak mampu mengingat bagaimana ibuku memelukku saat aku menangis karena haus atau saat aku mengompol. Lelaki itu sungguh beruntung.
“Kau akan menjumpainya sebentar lagi,” kataku sambil menyamarkan senyum kecut yang terpoles di bibirku. Sulit untuk tidak trenyuh mendengar orang lain merindukan ibunya dan dia masih bisa berjumpa dengan ibunya itu.
Aku rindu ibu. Aku merndukannya lebih dari apapun. Sudah dua puluh dua tahun aku tidak lagi tahu apa itu memasak. Meski K mengajarkanku soal keperempuanan, tapi K bukanlah ibu. K bahkan hanya ayah angkatku. Sosok ayah kandung yang tak mampu kurengkuh saat aku terjatuh dari sepeda untuk pertama kalinya. Yang kutemukan saat itu hanya K. Dia yang menyayangiku sepenuh hati. Tanpa terasa, airmata meleleh mengingat semua memori indah juga menyakitkan saat potret ibu dan ayah masuk ke dalam pikiranku.
Aku menggeleng pelan mencoba mengusir semua kenangan yang selalu sukses membuatku menjadi rapuh. Kualihkan pandanganku pada sekelompok remaja yang sedang bermain basket di sebuah lapangan berubin yang sudah membentuk pola untuk bermain basket. Mereka belum berhenti meski saat makan malam akan segera tiba. Apa mereka tidak mengkhawatirkan orang tua yang mungkin saja cemas karena waktu makan malam hampit tiba. Sial! Aku malah mengingat orang tua lagi.
YOU ARE READING
Double Me Agent
RomanceKetika hasrat yang membara bertekuk lutut pada cinta menjadi alasan sebuah pembalasan dendam. Manakah yang akan menjadi pemenang?