Bab 24: RSJ

189 18 0
                                    

“Sol, jadi dia tuh kena Obsessive Love Disorder dan Bipolar. Dia terlalu mencintai Thorn sampai tingkatannya sudah menuju ke obsesi, hingga ingin mengontrol sepenuhnya apa yang menjadi bagian dari hidup Thorn, sekalipun itu hanya hal-hal kecil. Dia juga sering mengalami emosi yang nggak bisa dia kontrol. Yah jadi istilah medisnya kayak gitu dah penyakitnya.”

Solar menatap sinis Seno yang berusaha melarikan diri dari petugas rumah sakit jiwa yang nangkep dia. “Kenapa! Kenapa saya ditangkap! Saya ini orang waras, saya nggak gila! Saya hanya ingin mencintai Thorn sepenuhnya! Dia adalah milik saya!” teriak Seno berusaha memberontak, tapi perjuangannya tetap sia-sia.

“Jangan khawatir, Sol. Gua dan temen-temen psikiater yang lain bakal obatin dia sampai sembuh di RSJ ini. Kalau dia keluar dari RSJ dan penyakit mentalnya kambuh lagi, bilang aja ke kita, nanti kita terapi dan kasih obat lagi.” ucap Fang, teman lama Solar di kampus dulu.

“Gua percayakan pasien ini ke lu, Fang. Gua nggak suka bini gua dikejar-kejar sampai segitunya. Kasihan dia, dia sampai trauma berat dan takut berlebihan sama cowok gara-gara dia.” geram Solar. “Dan itu bikin gua sebagai suaminya juga cemburu. Jelas-jelas gua yang ngiket janji suci pernikahan sama Thorn, sah menjadi pasangan suami-istri secara agama dan negara, bahkan sekarang Thorn udah ngandung anak gua selama 6 bulan. Apa itu nggak keterlaluan? Gua ngerasa malu sebagai suaminya Thorn, gua belum bisa jaga dia dengan baik sesuai apa yang gua janjikan ke Thea. Apalagi sekarang Thorn lagi hamil, takutnya kalau stress berlebihan bisa keguguran, dan gua nggak mau hal itu terjadi.” jelas Solar.

“Gua bukan hanya sekedar nggak rela kehilangan calon anak gua. Tapi gua nggak rela lihat istri gua stress berlebihan, nggak rela lihat istri gua kecewa karena kehilangan anaknya, dan nggak rela lihat istri gua kesakitan karena harus keguguran dan dikuret! Gua nggak bisa lihat istri gua menderita, Fang!” isak Solar. “Oke, gua akui, dulu gua memang Playboy. Semua cewek gua rayu, semua cewek gua deketin, tapi ujung-ujungnya gua gantung dan perlahan asing. Tapi beda sama Thorn, buat gua, dia adalah cewek yang tepat buat hati gua. Dia pasangan yang mencintai gua dengan tulus, meskipun pernikahan kami waktu itu juga bukan atas kehendak dia. Dia tetap merajakan gua sebagai suami, sungguh gua malu sama Thorn karena belum bisa sepenuhnya meratukan dia.”

Thorn yang duduk di sebuah kursi kecil hanya bisa menangis terharu tanpa suara dengerin ucapannya Solar. Dia nggak nyangka, pertemuan mereka yang tak terduga, bahkan hanya karena masalah sepele, bisa membuat mereka menjadi pasangan yang saling mencintai seperti sekarang.

“Gua paham perasaan lu, Sol. Gua juga pernah mencintai seorang wanita sedalam itu. Shin Ai Ying. Tapi sekarang, dia udah bahagia sama cowok pilihannya. Gua harus bisa relakan dia untuk suaminya, 'kan? Gua nggak boleh egois. Gua bakal sembuhkan diri gua sendiri dan pasien-pasien yang menjadi tanggungjawab gua.”

Seno terdiam denger perkataan Fang. Ternyata dia senasib dengan Fang, bedanya Fang nggak caper sana-sini dan nggak berambisi besar untuk tetap mengejar wanita yang dicintainya.

“Kenapa kamu nggak ngejar wanita yang kamu cinta? 'Kan hatimu pengennya sama dia.” tanya Seno. “Orang yang benar-benar mencintai, takkan membiarkan orang yang dicintainya bersedih. Saya nggak bisa paksa dia untuk nikah sama saya, daripada dia malah menderita 'kan? Lebih baik lepaskan dia dengan penuh ketenangan dan keikhlasan.” tutur Fang lembut.

Seno melirik Idah yang menangis tersedu-sedu di samping Thorn. “Akang nikahin Idah nggak berdasarkan cinta. Akang cuma mau kembali sama cinta pertama Akang, tanpa pernah mikir gimana perasaan Idah sebagai istri yang dinomorduakan dalam hal cinta sebagai pasangan.” tegur Idah.

Seno menunduk sedih. Semua ini salahnya, tapi sekarang tinggal penyesalan yang tersisa, dan sudah tak ada gunanya. “Maafin Akang, Dah. Akang egois. Akang bahkan lebih mencintai cinta pertama dan masa lalu Akang dibanding istri Akang yang sekarang.”

Bersambung.....

.
.
.
.
.

Terkadang, tingkat kebahagiaan tertinggi dalam mencintai bukanlah memiliki, namun merelakan dia bahagia dengan pilihannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang, tingkat kebahagiaan tertinggi dalam mencintai bukanlah memiliki, namun merelakan dia bahagia dengan pilihannya sendiri.

Gara-Gara Keasinan: SOLTHORN [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang