Aku terbangun dari tidurku saat Mama mengetuk pintu kamarku dengan keras. Aku segera bangkit dari tidurku dan menempelkan telinga pada pintu kamarku.
"Ada apa ma? Bangunin aku sepagi ini?"
"Cepat siap-siap kita akan pergi ke Bandung buat nemuin Om kamu yang lagi sakit. Mama tunggu di bawah yah sayang."
"Baik Ma, aku akan siap-siap."
"Jangan lama yah, Nak."
Aku kembali membaringkan tubuhku diatas kasur. Tiba-tiba handphoneku bergetar, aku segera mengambil handphoneku yang berada diatas nakas. Tertera di sana nama sahabatku, ia sering mengajakku untuk jalan-jalan kalau sedang weekend seperti ini.
"Ale, cepat bangun! Ayo kita pergi ke mall sekarang!" teriak Dhania di seberang sana, yang membuat telingaku pengang.
"Maaf, hari ini gue ke Bandung buat nemuin Om gue yang lagi sakit. Sebenernya gue nggak pengin ikut tapi Mama paksa gue buat ikut, nyebelin banget!"
"Yah, padahal hari ini gue 'kan mau traktir lo makan, tapi karena lo ngga bisa terpak..."
"Serius lo bakalan traktir gue makan?" ucapku sambil memotong ucapan Dhania tadi.
"Yeh, dasar giliran acara traktir makan aja langsung ikut."
"Hehe... lumayan 'kan uang jajan gue tabung daripada gue keluarin buat traktir makan lo."
"Dasar pelit! Padahal lo kaya tapi nggak mau ngeluarin uang."
"Lah... yang kaya itu orangtua gue! Kenapa gue yang di salahin. Lo 'kan juga lebih kaya daripada gue, huh?"
"Terserah lo deh. Terus gimana jadi ngga? Kalau jadi gue jemput ke rumah lo setengah jam lagi."
"Harus jadi! Nanti gue bilang ke Mama gue dulu. Oke, gue mau mandi dan siap-siap dulu. Bhay!"
Setelah mengakhiri telepon dari Dhania, aku bergegas pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap karena Dhania mau menjemputku setengah jam lagi. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku turun ke bawah dengan Mama dan Papa yang sudah terlihat siap untuk segera pergi.
"Kamu kok pakai baju santai? Cepat sana ganti sebentar lagi kita akan pergi!" kata mama sambil membalikkan tubuhku.
Aku kembali menghadap ke Mama sambil tersenyum. "Aku nggak ikut Ma, aku disini saja sama Dhania. Lagian jalan ke Bandung itu macet banget. Aku di rumah aja yah," ucapku dengan wajah memelas.
"Iya sudah kalau kamu nggak ikut Mama dan Papa. Tapi, ingat jaga diri kamu baik-baik yah. Kalau ada apa-apa telepon Papa atau Mama sesegera mungkin. Karena kakak kamu sibuk jadi nggak setiap saat ada di rumah untuk menjagamu."
"iya Ma, tenang saja tidak perlu terlalu khawatir lagipula ada Bibi dan Dhania yang nemenin aku di sini."
"Iya sudah, Mama dan Papa pergi dulu. Baik-baik yah sayang."
"Siap, Ma! Jangan lupa bawa oleh-oleh yah. Hehe..."
Aku mengantar Mama dan Papa ke gerbang seraya melambai-lambaikan tanganku ke arah mobil yang sudah melaju dengan cepat sampai mobil yang di kendarai oleh Papaku tidak terlihat lagi. Aku kembali ke dalam dan berjalan ke ruang makan karena aku sudah lapar sekali. Aku melihat ke meja makan, seperti biasanya sarapan pagi hanya ada roti dan susu.
Jujur, aku bosan dengan menunya, tapi hanya ada ini saja dan sebaiknya aku makan saja daripada kelaparan. Tidak lama setelah itu aku mendengar suara klakson dari mobil. Aku yakin itu adalah Dhania---sahabatku. Aku segera bangkit dari ruang makan membuka pintu depan. Bibi berjalan ke arah pintu, tapi segera aku menghalangnya.
"Biar aku aja Bi yang buka pintunya, mungkin itu Dhania."
"Kalau begitu Bibi permisi ke belakang dulu membereskan yang lainnya."
"Oke deh, Bi"
Aku mebuka pintu depan rumah. Benar saja itu Dhania sahabatku sejak memasuki masa SMP. Kami---aku dan Dhania---sudah 3 tahun sekelas bareng dan sepertinya kami akan masuk ke SMA yang sama juga.
"Iya udah masuk dulu. Lo lama banget!"
"Hehe maaf, sengaja gue telat-telatin."
"Whoo, dasar! Pantes aja lama banget. Lo ke ruang tamu aja sana, gue mau ngambil tas dulu ke kamar."
Dhania menganggukan kepalanya, ia berjalan ke arah ruang tamu. Aku mengambil sling bag dengan dompet dan handphone yang berada di dalamnya.
"Ayo Dha, nanti macet. Tau sendiri Jakarta itu kalau udah siang pasti rame banget," ucapku dengan berdiri di samping sofa yang di duduki oleh Dhania.
"Iya-iya sabar kali, bawel banget!"
"Hehe... lagian 'kan gue mau buru-buru sampai buat beli novel terbaru!" pekikku.
"Iya udah ayo," ucap Dhania sambil berjalan ke luar rumah.
"BIBIIIIII... AKU SAMA DHANIA PERGI DULU YAH!" teriakku.
Bibi yang dri arah dapur segera berlari menemuiku. "Ndak usah teriak-teriak mbak, Bibi sudah dengar. Iya sudah mbak berangkat saja, biar Bibi yang kunci pintunya."
Aku menganggukan kepala, masuk ke dalam mobil Dhania dan segera berangkat. Itu memang mobil milik Dhania ralat milik orangtuanya, ia kemana-mana di antar sama supirnya. Karena nggak mungkin Dhania nyetir mobil tanpa punya SIM. Sebenernya bisa saja, tapi resiko di tilang polisi sangat besar. Dan itu adalah mimpi buruk kalau namaku atau nama Dhania di catat di kantor polisi karena melanggar peraturan.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Ini part yang sudah di revisi. Mungkin revisinya belum begitu bagus, tapi sudah lumayan agak rapi sedikit. Aku harap kalian suka.
See you soon !
Vote and comment, please... (:
KAMU SEDANG MEMBACA
BE A RAINBOW
Teen FictionAwalnya aku nggak percaya sama yang namanya "Love at first sight" sampai akhirnya aku melihatnya untuk yang pertama kali. Aku suka dan tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata betapa tampannya dia. Tapi, hatiku sakit melihat orang yang aku suka sudah...