Aku mengerjapkan mata dan menelusuri sekitarku. Ternyata sekarang aku berada di kamar. Siapa yang membawa aku kemari? Tidak mungkin hanya Viola sendiri yang membawa ku kemari karena aku sangat ingat terkahir kali aku masih berlarian di tengah hujan besar dan tiba-tiba saja di depan ku ada sebuah mobil yang berkecepatan tinggi hampir menabrakku. Ya, mobil itu. Sekarang aku ingat. Mungkin, pengendara mobil itu yang membawaku kembali ke rumah dengan Viola.
Menyampingkan posisi tidur saat ini benar-benar sangat menyiksaku. Terlebih badanku masih sakit semua, mungkin ini efek lari-larian disaat hujan besar. Sudah menjadi kebiasaanku, bisa di bilang ini adalah hal yang sangat aneh di usiaku yg sekarang. Tapi, aku tetap menyukai hujan bagaimanapun itu.
Pintu kamarku terbuka, aku melihat seorang wanita masuk yang seumuran denganku. Aku bisa tebak, kalau itu adalah Viola. Dari sini aku bisa lihat kalau Viola sedang membawa nampan yang berisi semangkuk bubur atau sup hangat, segelas air dan tentunya dengan obat-obat yang biasa aku minum. Viola menaruh nampan itu diatas nakas.
Tempat tidurku sedikit bergoyang. Aku tahu kalau Viola sekarang sedang duduk di samping ku. Dia menempelkan telapak tangannya pada dahiku---mencoba untuk memeriksa keadaanku. Aku masih diam tak bergeming sampai akhirnya Viola menghembuskan nafas gusarnya.
"Ale..." panggil Viola.
"Hmm," jawabku.
Viola menepuk lenganku. "Makan supnya dulu habis itu minum obat. Mumpung supnya masih hangat," ucap Viola dengan nada yang sedikit rendah.
Entah sejak kapan nada bicara Viola jadi selembut ini. Aku baru menyadari perubahan itu. Apa hanya untuk saat ini saja?
"Ma...les. Nanti aja," ucapku dengan suara yang parau.
Viola menghembuskan nafasnya lagi. "Makan sedikit biar perut lo nggak kosong dan maag yang lo punya nggak kambuh lagi."
"Pengemudi mobil tadi yang nolong gue kemana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Hmm, gue bakal jawab kalau lo mau makan sup ini."
"Nyebelin dasar," celetukku sadis.
Viola terkekeh kecil dan membalikkan tubuhku ke posisi semula. Aku mengubah posisiku menjadi duduk dengan dibantu Viola.
"Dhania kesini nggak? Dia tau gue sakit nggak?" Aku mengubah pertanyaanku.
"Nggak. Dia nggak kesini, sengaja nggak kasih tau dia karena gue juga ngerti kalau lo nggak mau buat dia khawatir," jawab Viola sambil menyuapkan sup ke mulutku. "Lo nggak jadi nanya tentang pengemudi yang nolong lo?"
"Nggak usah lah, makasih aja buat dia, lagian gue nggak kenal sama dia juga "kan," jawabku. "Hmm, omong-omong handphone gue mana yah, Vi?"
Viola menaruh sup itu kembali dan berjalan menuju meja riasku. "Nih, handphone lo," ucap Viola sambil menyerahkan handphoneku.
Viola masih asik menyuapiku sup yang ada di tangannya. Aku menggulirkan layar handphone ke atas untuk melihat notifikasi beberapa jam yang lalu.
"Em, Vi. Gue kenyang. Minum obatnya nanti aja," ucapku sambil menaruh handphone di atas kasur.
"Ohh, oke."
Keadaan benar-benar sangat sunyi banget. Viola tidak seaktif biasanya, yah aku tahu sebab kondisi ku saat ini tidak meyakinkan untuk aktif lagi.
"Emm, Vi. Gue mau tanya deh."
"Tanya apa?"
"Wajar cemburu nggak sih, kalau lihat orang yang kita suka deket sama yang lain? Tapi, gue nggak boleh cemburu berlebihan karena gue bukan siap-siapa nya dia."
"Kalau lo udah cemburu sama dia, tandanya lo itu lebih dari sekedar suka sama dia. Lebih tepatnya lo itu sayang sama dia."
"Tapi, Vi. Dia deket sama cewek lain. Pakai kata 'sayang' gituh lagi."
"Bisa jadi dia bilang ke adiknya atau ke sepupunya yang masih kecil. Coba tanya ke dia lagi."
Aku memeluk boneka yang ada disampingku. "Orang dia nggak ada adik, dia anak tunggal, Vi. Mana mungkin dia ngomong 'sayang' begitu ke orang lain. Kalaupun itu sepupunya cuma satu persen aja kemungkinan bakalan terjadi."
Viola mengernyitkan dahinya sesaat dan setelah itu tersenyum agak sinis. "Gue tau orang yang lo maksud."
"Jangan sok tahu deh," sergahku kasar.
"Kak Raffa 'kan?"
Aku menoleh kepadanya dan berdecak kesal. Bagaimana Viola bisa menebak dengan mudahnya? Padahal aku tidak pernah memberi tahunya. Telepati saja tidak.
"Lo berdua udah deket, lanjutin aja kali. Mungkin lo salah paham sama dia. Gue pulang dulu ya, udah malem Kak Divo udah nungguin di gerbang depan."
Viola berdiri dan menutup pintu kamarku. Dengan nafas yang gusar, aku mencoba untuk membenarkan kata-kata Viola tadi, tapi tetap saja tidak bisa mengubah hal itu di dalam diriku. Aku sudah tebak kalau itu adalah bukan sepupunya, tapi temannya lagi. Entah siapa akupun juga tidak mengetahuinya.
...
setelah kejadian kemarin, aku jadi memikirkan siapa yang telah menolongku saat itu. dan aku baru ingat tenatng teman Kak Rudi yang pernah datang ke rumah. Bibi---pembantu di rumahku--- pernah bilang tentang Kak Rudi yang aku kenal. entah kenapa aku merasa kalau itu adalah orang yang sama. Bisa jadi memang ia yang menolongku karena aku yakin itu bertepatan dengan aku pergi ke mall. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalaku sedikit berdenyut-denyut. aku menggelengkan kepalaku dan kembali fokus pada pelajaran di depan walaupun pada kenyataannya aku sedang tidak fokus.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
HAI ! Aku bakalan aktif lagi. Maaf yah, kemarin kemarin belum di post wkwk. Kesibukan dunia nyata itu lebih padat ^-^ mohon maklum ya. Oh iyah, aku juga akan buat cerita baru, tunggu aja ya !!!!
Delia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BE A RAINBOW
Teen FictionAwalnya aku nggak percaya sama yang namanya "Love at first sight" sampai akhirnya aku melihatnya untuk yang pertama kali. Aku suka dan tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata betapa tampannya dia. Tapi, hatiku sakit melihat orang yang aku suka sudah...