Pulang sekolah kali ini aku terbirit-birit menuju kelasnya Dhania sebelum ia benar-benar keluar. Semua orang yang ada di koridor IPS menatapku dengan bingung, tapi aku tidak memperdulikannya. Saat sampai di depan kelasnya Dhania, aku mengedarkan pandanganku dan mendapati Dhania yang baru saja berdiri dari duduknya.
Aku menerobos masuk dan menghampirinya.
"Hai, Dha," sapaku sambil tersenyum.
Ia sedikit terbelalak, tiba-tiba sorotan matanya kembali berubah menjadi sinis. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Ada apa?" tanyanya to-the-point.
"Lo hari ini ada waktu kosong nggak?"
Dhania menyilangkan tangannya di depan dada. "Malem, mungkin. Kenapa?"
"Hem... mau main sekalian ngobrol aja, soalnya udah lama nggak ketemu."
"Oke," ucap Dhania sambil melewatiku.
Aku berjalan di sampingnya. Kalau aku lihat dari samping sini, ia terlihat sangat bosan dan malas. Entah kenapa ia menjadi berubah begini.
"Emmm... Dha, waktu itu gue sempet ke rumah lo malem-malem. Terus pembantu lo bilang, lo lagi pergi sama cowok. Siapa dia? Pacar atau gebetan lo? Kok nggak kenalin ke gue?"
Dhania memberhentikan jalannya dan menoleh ke arahku. "Bukan siapa-siapa."
Setelah itu jalan kembali dengan pikiran masing-masing.
"Gue ada kerkel. Lo pulang duluan aja," celetuk Dhania saat sudah sampai di koridor lantai 1.
Aku menganggukan kepala dan pergi ke depan gerbang. Takut kalau supir Papa sudah menjemputku di depan gerbang sedari tadi. Begitu aku sampai di depan gerbang, tidak terlihat satu pun mobil yang menjemputku. Aku mengedarkan pandanganku ke dalam sekolah yang masih ramai. Aku memutuskan untuk ke kantin saja sebentar.
Aku kembali masuk ke dalam sekolah dan menuju kantin dengan handphone yang ada di tanganku. Saat aku memasuki kantin, aku melihat Viola dan Kak Divo sedang makan berdua dengan sesekali bercanda. Sepertinya mereka sudah sangat dekat. Buktinya bisa makan di kantin bareng. Aku mendekati meja mereka, sekedar untuk menyapa dan tidak mau duduk bareng karena aku tidak mau menganggu mereka. Ya, aku juga tidak ingin menjadi nyamuk diantara keduanya.
"Hai Vio, hai Kak Divo."
Keduanya menoleh ketika nama mereka berdua aku panggil. Mereka saling pandang dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku tahu mereka sedang dalam masa-masa saling mengenal satu sama lain, mungkin bisa di bilang sebagai masa pdkt.
"Gue cuma mau nyapa doang kok, nggak usah salting. Duluan yaa."
"E-eh, gabung aja dulu disini. Buru-buru banget. Lo nggak ganggu kita kok," ucap Viola.
Aku menyeringai dan menaik turunkan kedua alisku. "Sekarang udah jadi 'KITA' ya? Ciee..."
Kulihat Kak Divo hanya terkekeh kecil melihat Viola yang salah tingkah dan aku pun juga masih memasang wajah meledekku.
"Iih bukan, maksud gue. Lo nggak sama sekali ganggu gue sama Kak Divo kok."
"Iyah dah, gue gabung ya. Awas aja kalau kalian asik sendiri. Gue tinggal, mwee," ucapku sambil menjulurkan lidah.
Akhirnya aku memesan makanan dan minuman dengan di temani Viola dan Kak Divo tentunya. Ternyata mereka mampu menempatkan dimana saatnya berduaan dan dimana saatnya kumpul bareng sama temen. Dan perlu kalian tahu juga kalau mereka benar-benar terlihat sangat serasi.
"Gue balik dulu ya, supir gue udah jemput."
"KITA juga mau pulang, udah sore juga," ucap Kak Divo sambil merangkul Viola yang membuat pipi Viola kembali bersemu.
Aku terkekeh melihat Viola yang kelihatan salah tingkah. Sepertinya aku juga akan terlihat salah tingkah kalau dengan Kak Raffa. Omong-oming soal Kak Raffa, aku belum ketemu lagi dengannya sehabis istirahat tadi. Aku terkekeh kembali melihat tingkah Viola.
Saat aku ingin berbalik badan, Viola memegang kedua lenganku dan kembali menyuruhku untuk duduk. Ia juga tidak membiarkan aku menoleh sedikitpun. Tindakan yang tiba-tiba seperti ini membuat dahiku mengernyit heran dengan Viola. Aku melihat Kak Divo, tapi ia hanya mengangkat kedua bahunya. Begitu ia mendongakkan kepalanya, ia langsung terbelalak dan ikut mencoba mengalihkan perhatianku. Mereka bertingkah sangat konyol itu membuatku sedikit gemas dan bosan karena mereka tidak mau memberitahuku.
"Viola, Kak Divo berhenti! Sebenernya ada apa? Kenapa gue nggak boleh liat?"
Mereka berdua saling diam dan melirik satu sama lain. Aku membalikkan tubuhku dan mengedarkan pandanganku. Tidak terlihat sesuatu yang aneh. Hanya terlihat beberapa pedagang yang sedang merapikan dagangannya. Aku kembali membalikkan badan menghadap mereka.
"Nggak ada apa-apa, tuh, kenapa kalian halangin gue buat nengok?"
"Emang nggak ada. Emm, itu karena..."
Handphoneku berbunyi dan menampilkan nama supir Papa disana. "Gue duluan, Vi," ucapku segera keluar dari kantin.
Berjalan cepat ke arah gerbang sekolah, terlihat disana sebuah mobil berwarna hitam. Aku segera masuk ke dalam mobil dengan pikiran yang masih melalang buana.
...
Sehabis mengerjakan PR, aku langsung izin ke rumah Dhania. Yah, walaupun hanya beberapa meter dari rumahku, tapi ini sudah malam. Mana ada orang tua yang mengizinkan anak gadisnya keluar malam. Mungkin ada, itupun hati orang tua masih khawatir walaupun di wajahnya tidak terlihat khawatir sama sekali.
Aku mengetuk pintu rumah Dhania, pintunya dibuka oleh Nila---adiknya Dhania---yang masih duduk dibangku SMP, tepatnya kelas sembilan yang sebentar lagi lulus. Langsung saja aku menuju kamarnya Dhania dan mengetuk pintunya.
Pintu kamar Dhania sudah aku ketuk berkali-kali, tapi tidak ada jawaban satu pun. Aku membuka pintunya dan terlihat di sana Dhania sedang tertawa di depan laptopnya. Hanya ada dua pilihan, pertama, dia sedang mebonton film komedi dan yang kedua, ia sedang skype-an dengan temannya.
"Dhan, Dhania!" ucapku kencang yang membuatnya mendonggakkan kepalanya dan tersenyum kepadaku.
Kata "aneh" terngiang-ngiang di kepalaku. Tadi disekolah dia terlihat masam sekarang senang. Dhania kembali menatap laptopnya dan berbicara sedikit. Kemudian, ia menutup laptopnya. Sepertinya ia tadi dengan skype-an dengan seseorang.
"Habis skype sama orang?" ucapku mendekatinya.
"Iyahlah, yah kali sama setan. Hebat banget setan kalau bisa punya skype."
Aku terkekeh mendengar ucapannya. "Yah, dunia teknologi semakin canggih. Bisa aja itu setan ikutan kena modernisasi. Hehe..."
"Duh, udah lah jangan bahas setan lagi. Gue jadi aneh ngebayangin itu setan punya handphone," ujarnya yang sukses membuatku tertawa. "Oh, iyah lo mau cerita apa? Udah lama nggak denger cerita dari lo."
Aku menganggukan kepala dan mulai menceritakan semuanya. Ia masih terlihat begitu antusias untuk mendengarnya walaupun hanya sesekali ia menaggapinya. Tapi, begitu aku menceritakan kejadian hari ini, termasuk kejadian saat Viola menghalangiku untuk menoleh ke belakang. Tubuh Dhania menegang seketika, ia juga membelalakan matanya. Kernyitan di dahiku terbentuk lagi. Padahal aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat Viola menghalangi jalanku.
"Kenapa Dha?" tanyaku.
"G-gak apa-apa. Udah lanjutin aja ceritanya."
Aku melanjutkan ceritanya, tapi wajah Dhania masih seperti tadi. Mungkin ia sedikit tegang. Sepertinya disini hanya aku yang tidak tahu apa-apa. Dan aku pun tidak tahu harus bertanya ke siapa lagi, jika semua orang yang aku tanya langsung tergagap dan terdiam. Aku jadi semakin penasaran dan aku benar-benar sangat ingin tahu hal itu.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Seriusan ini aku baru update?! Hueee.. ke tunda mulu tau wkwk.
Tetap vomment yaa !!!
KAMU SEDANG MEMBACA
BE A RAINBOW
Ficção AdolescenteAwalnya aku nggak percaya sama yang namanya "Love at first sight" sampai akhirnya aku melihatnya untuk yang pertama kali. Aku suka dan tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata betapa tampannya dia. Tapi, hatiku sakit melihat orang yang aku suka sudah...