#Part 17

1.1K 53 3
                                    

Bel istirahat berbunyi, aku dan Viola pergi ke kantin. Hari ini aku sedang tidak membawa bekal, entah kenapa aku jadi malas rasanya. Oh, iyah hari ini juga ada berita yang buat gempar satu sekolah. Katanya akan ada anak baru pindahan dari luar daerah. Yah, seperti biasanya mereka semua sedang membicarakan seorang anak baru itu yang menurut salah satu diantara mereka kalau anak baru itu jauh lebih ganteng dari Kak Raffa. Aku menghembuskan nafas beratku.

"Lo kenapa, Le?" Viola menepuk pundakku dengan pandangan yang bertanya.

"Ah, perasaan gue sedikit nggak enak. Entah kenapa."

"Alah, paling itu cuma sebentar aja. Paling ilang lagi."

"Hehe, oke. Oh iyah, lo mau pesan apa, biar gue yang pesenin aja."

"Pesen bareng-bareng aja."

Sampai di kantin, aku dan Viola mengantri di salah satu penjual makanan. Tiba-tiba aja aku mendengar suara yang sangat tidak asing di telingaku. Aku mencoba menyusuri semua penjuru kantin dan mataku mnegerjap ketika mengetahui kalau suara yang aku dengar tadi adalah suara Dhania dan Kak Raffa. Mereka berdua ada hubungan apa? Kenapa bisa sampai sedekat itu? Jangan-jangan mereka sudah...

"Ale," panggilan Viola membuyarkan pikiranku.

Aku tidak memperhatikan mereka---Kak Raffa dan Dhania---kembali. Pandanganku kembali ke Viola yang tadi memanggilku.

"Lo liat apa, Le?" tanya Viola sebelum sempat aku jawab panggilannya tadi.

"Ah, nggak liat apa-apa kok."

"Bener gak liat apa-apa? Gue rasa tadi lo lagi liatin Kak Raffa deh, yang lagi duduk sendirian."

Alisku mengernyit dan tatapanku menyiratkan tanda tanya pada Viola.

"Kalau nggak percaya liat aja sendiri."

Aku menoleh kembali menatap ke arah mereka. Tapi, aneh saja. Mana mungkin aku salah liat. Bukankah tadi dia makan bareng dengan Dhania? Lalu, Dhania kemana?

Aku kembali menatap Viola. "Tapi, Vi... tadi gue liat Kak Raffa makan bareng sama cewek lain."

"Bilang aja lo cemburu, orang dari tadi Kak Raffa sendirian kok gak sama siapa-siapa. Udah lebih baik kita makan aja sekarang. Perut gue udah laper."

"Oke."

...

Beberapa menit setelah masuk kelas, fokus mataku tidak lagi ke papan tulis melainkan mencoret-coret kertas kosong pada halaman belakang buku tulis.

Aku menoleh ke Viola ketika ia menyikut lenganku.

"Le, lo ngerti nggak ngerjain soal fisika ini yang pake rumus hidrostatis?"

Aku sedikit berdecak. "Ada contohnya dibuku, liat sendiri terus pahamin nanti juga ngerti."

"Lo kenapa sih dari tadi? Heran deh sama lo akhir-akhir ini. Lagi PMS?"

"Nggak. Apaan sih, udah sana. Lo kerjain aja soal fisikanya."

"Ya udah."

Pelajaran kali ini sungguh membosankan. Mungkin, karena perubahan semangat belajarku hari ini yang menurun drastis. Aku berharap bel pilang sekolah berbunyi, ini yang aku inginkan saat ini supaya aku cepat datang ke rumah.

Aku lihat sekelilingku nampak begitu sibuk. Kebanyakan dari mereka ada yang tidur karena ngantuk, ada yang masih saja mencoba soal di depan walau kenyaataannya gak bisa dan yang terakhir ada si tukang rumpi. Suara yang di tunggu akhirnya tiba, aku segera membereskan buku dan alat tulisku. Baru saja aku ingin keluar dari kelas setelah guruku keluar, malah sekarang aku di suruh piket kelas. Ah, tidak bisakah hari ini aku libur piket.

"Gue gak piket ya, please."

Teman-temanku memelototiku semua. Dengan rasa malas aku akhirnya menyapu walaupun hanya sebentar saja, lalu keluar kelas setelah menandatangani absen piket. Kelasanku begitu ketat, rasanya pengin pindah kelas tapi, aku tidak dapat berbuat banyak.

Setelah piket kelas, aku berjalan keluar kelas dan menunggu jemputan di depan gerbang. Tapi, awan gelap menyelimuti sore ini. Sepertinya memang ini sudah memasuki musim hujan.

Tes.

Tes.

Tes.

Satu persatu bulir air hujan turun, jatuh ke bumi semakin deras. Aku yang bersandar di gerbang sekolah segera meneduh ke pos satpam yang kebetulan sepi. Dengan sedikit mengelap baju seragamku yang basah, seseorang mendorongku dari arah samping.

"Lo jangan dorong-dorong dong! Baju gue jadi basah lagi kan," ucapku seraya mengelap baju yang terkena basah.

"Eh, maaf-maaf gak sengaja."

Deg.

Aku kenal dengan suara itu, habislah aku memakai nada yang tinggi. Hmmm... bukankah semua orang sudah pulang, tapi kenapa Kak Raffa belum pulang? Aneh sekali.

"Loh, Ale. Belum pulang? Biasanya udah keluar duluan."

Aku menyeringai lebar. "Hehe, Kak Raffa sendiri kenapa belum pulang? Bukannya bel udah bunyi dari tadi ya?"

"Tadi lagi ada urusan OSIS. Lo sendiri."

"Habis piket dan sekarang nungguin jemputan." Kak Raffa menagnggukan kepalanya tanda ia mengerti dengan ucapanku.

"Hmmm... aku boleh tanya sesuatu?"

"Boleh. Tanya aja," jawab Kak Raffa dengan mudahnya.

Kak Raffa menundukkan kepalanya, matanya dan mataku bertemu. Perasaanku mulai berkecamuk dan ritme jantungku pun mendadak tidak normal.

"Hey, kok melamun. Katanya tadi mau nanya." Kak Raffa melambaikan tangannya di hadapanku dan membuatku kembali tersadar.

"Eh, iyah kak. Itu lho, kenapa Kak Raffa sama Dhania akhir-akhir ini hadi deket?"

"Hmmm. Mau tau banget atau mau tau aja?"

Aku mendengus kesal. "Terserah," jawabku seolah tidak perduli yang pada kenyataannya aku sangat penasaran dengan hubungan Kak Raffa dan Dhania.

"Ceritanya ngambek nih? Kalau mau tau sinilah ngedeket jangan jauh-jauh. Kalau nggak mau juga nggak apa-apa."

Rasa penasaranku mengalahkan rasa maluku saat ini. Karena mendekatkan  jarak antara kami. Yang tadi nya tidak dekat menjadi sangat dekat, tetapi hanya berdampingan saja.

Kak Raffa menundukkan kepalanya mendekat ke telingaku. Aku rasa ia akan mengatakan sesuatu rahasianya.

"Gue sana Dhania udah pacaran," bisik Kak Raffa di telingaku.

Duarr...

Hatiku hancur berkeping-keping, seperti ada kilat yang menyambar di hadapanku. Tubuhku menegang mendengar pernyataan dari Kak Raffa tentang hubungannya.

"Ale, lo kenapa kok pucet begitu?"

"Ah, pucet? Masa sih? Enggak kok kak. Aku nggak kenapa-kenapa."

"Iyaudah gue anter lo balik aja deh."

"Eh, nggak usah Kak. Supir Papa udah jemput tuh," ucapku sambil menunjuk mobil yang baru saja tiba di depan gerbang. "Aku duluan, Kak."

Kak Raffa hanya tersenyum saat aku berlari menuju mobil.

...

Sampai dirumah aku langsung lari ke kamar untuk berganti baju. Aku membaringkan tubuh diatas kasur dan menatap langit kamar. Tanpa sadar setitik air mataku mengalir dari mata sebelah kiri. Mengingat kejadian di kantin tadi, siapa sih yang nggak cemburu lihat seseorang yang disayang bercanda ketawa sama orang lain. Seharusnya, dari awal aku sudah sadar kalau Kak Raffa tidak akan pernah berubah bagaimanapun caranya.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Ahha :v ... akhirnya aku update juga ^-^ sebeneenya mau update tadi malam tapi karena salah revisi part jadinya harus ulang dari awalah deh, huhu.

Tetap Vomment yaa !!!

Happy Reading.

Delia.

BE A RAINBOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang