#Part 22

807 53 6
                                    

Taman belakang sekolah masih sangat sepi tidak banyak orang. Tapi, sebuah suara membuatku penasaran. Aku mengikuti suara itu dan menatap orang yang ada di hadapanku. Hatiku bergemuruh, ada sesuatu di dalam diriku untuk memprotes hal itu. Mataku memanas dan tepat di saat itu, orang yang ada di hadapanku menoleh. Aku berlari keluar dari taman belakang sekolah dengan menahan air mataku yang ingin keluar.

><><><><>>><>>><><><><><

Aku mengigit bibirku agar tidak terdengar suara isakan tangisku di jalan. Kakiku melangkah ke sembarang arah, saat ini aku tidak ingin ke kelas dan menemui siapapun. Ya, aku butuh ruang sendiri.

Kulihat ruang musik tidak dikunci. Aku melangkah masuk ke dalam ruang musik dan menguncinya dari dalam. Tubuhku merosot kebawah. Kucurahkan semua derai air mataku. Jadi, inikah yang dinamakan cemburu? Kalau benar adanya, mengapa begitu menyakitkan? Dada ini terasa sesak. Pertahananku kini runtuh. Sudah tidak ada lagi diriku yang tegar, yang ada hanyalah diri yang lemah. Sekarang aku mengakui bahwa aku sudah jatuh sangat dalam dengan Kak Raffa.

Begitu miris ketika orang yang kita sayang dimiliki orang lain terlebih itu sahabat sendiri. Aku tidak menyalahkan sahabatku, tapi menyalahkan diriku yang tidak mengungkapkannya. Setelah air mataku berhenti, aku terdiam sejenak sambil menenangkan nafasku.

Ternyata menyatakan perasaan itu jauh lebih baik daripada dipendam. Setidaknya, mencoba untuk mengungkapkan perasaan pada seseorang yang  kita sukai walaupun akhirnya dia akan menjauhi kita atau bisa jadi dia malah menerima perasaan kita. Ya, hanya dua kemungkinan itu yang akan terjadi.

Suara ketukan pintu membuatku terbangun dari tempatku. Aku mengusap sisa air mata yang ada di ujung mata. Setelah kubuka pintu, aku mendukkan kepala dan keluar dari ruang musik.

"Lho, Ale ngapain diruang musik?" tanya Kak Divo.

Aku menggelengkan kepalaku dan melanjutkan berjalan. Bel pulang sebentar lagi berbunyi, sebaiknya aku cepat menuju perpustakaan. Ya, saat ini aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan siapapun.

Sampai di dalam perpustakaan, aku mengambil salah satu novel dan membacanya dalam bilik. Aku memilih bilik yang berada di pinggir ruangan agar tidak ketahuan.

Bel pulang berdering, aku menenggelamkan kepalaku diantara lipatan tanganku. Buku novel yang sedang kubaca, aku jadikan bantal untuk kepalaku. Ponselku bergetar, muncul pesan LINE dari Viola.

RViolaniR : Ale, lo dimana? Udah bel pulang dan lo belum ke kelas juga. Lo kemana?

AlenataAB : Nggak perlu tau. Tolong taruh tas gue diloker, ambil aja kuncinya dibagian depan tas. Oh iyah, bilang ke Julian juga kalau gue udah pulang.

RViolaniR : Ohh oke. Tadi kata Kak Divo lo habis dari ruang musik ngapain?

Pesan terakhir Viola hanya kubaca saja. Tidak satu patah kata yang aku ketik. Jika membalas pesan itu, akan kembali teringat dengan kejadian di taman belakang sekolah.

Sayup-sayup aku mendengar suara Julian sedang berbicara dengan Bu Tari selaku staff di perpustakaan ini. Setelah mendengar pintu tertutup, barulah aku berdiri dan keluar dari bilik. Kutaruh kembali novel yang tadi aku baca dan keluar dari perpustakaan.

Ponselku kembali bergetar dan menampilkan kontak Kak Rudi. Kakakku sepertinya sangat tahu jika aku sedang membutuhkannya. Aku mengetikkan balasan pada Kak Rudi.

Aku turun dan terlihat di koridor bawah masih banyak orang. Kubuka lokerku dan segera mengambil tasku.

"Ale!" panggil seseorang.

Aku menoleh, lalu mataku terbelalak. Kak Raffa sedang berlari kecil kearahku. Terburu-buru aku menutup loker dan berlari cepat menuju gerbang sekolah. Sepertinya, Kak Raffa masih mengejarku karena aku sempat melihat ke belakang. Begitu aku sampai, aku langsung naik ke atas motor Kak Rudi dan berpegangan erat di pinggangnya. Kebetulan Kak Rudi sudah sampai di depan sekolah sejak tadi, makanya tadi dia mengirim pesan padaku.

Kulihat Kak Raffa berhenti berlari, lalu ia tersenyum kepadaku. Apa maksud senyuman itu?

Aku mengalihkan pandanganku, air mataku kembali tumpah dipunggung Kak Rudi. Aku tau Kak Rudi juga pasti merasakan aku sedang menangis. Ia menghela nafasnya, lalu melajukan motornya dengan cepat.

....

Dering ponsel mengganggu tidur nyenyakku. Dengan kesal aku mengambil ponsel itu dan melihat pengirim pesan itu singkat. Aku memaksakan untuk bangun dari tidurku dengan mengusap mataku yang ingin tertutup kembali.

Aku meraih kembali ponsel dan membuka pesan itu. Mataku mengerling. Ternyata Julian mengajakku keluar. Hmm... aku sebenatbya tau niat baiknya untuk menghiburku, tapi aku sedang tidak ingin keluar rumah.

Sesudah mengetikkan balasan, aku turun dari tempat tidurku dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Kutatap wajahku pada cermin. Penampilanku sangat berantakan, ditambah dengan mata yang sembab. Sudah tidak ada yang harus ditangisi lagi, memang aku terlalu cengeng dalam hal ini.
Begitu selesai mencuci wajahku, aku melihat ponselku yang berkedap-kedip. Ternyata ada dua balasan pesan dari Julian, mataku terbuka lebar saat membaca pesan yang kedua. Tenyata ia mengirim pesan saat berada di rumahku. Kenapa tidak langsung memanggilku saja? Aneh sekali.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Hhh... ini part mungkin sedikit. Gak apa-apa kan, yah?

Ayolah vomment !!! ^-^

Udah selesai uas, nih. Aku oanjut lagi yah. Btw, aku lagu, kzl, kzl, kzl ~('-')~ jadi gak apa apa yah sedikit wkwkw :v

Happy reading !!!

BE A RAINBOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang