Kemarin, begitu aku sampai di dalam kamar. Aku langsung menelepon Dhania dan Viola karena aku pengin menceritakan kejadian itu kepada mereka. Sayangnya Dhania tidak bisa di hubungi. Akhir-akhir ini ia jadi jarang mengobrol dan cerita-cerita lagi seperti masa SMP dulu.
Pagi ini aku hanya sempat membuat bento karena aku tidak sempat membuat kue seperti kemarin karena hari ini aku bangun kesiangan. Bento aku buat dengan semenarik mungkin agar terlihat lebih lezat bila memakannya. Aku membuat dua bento, satu untukku dan satu lagi untuk Kak Raffa.
Setelah memasukkan bento ke dalam tas kecilku, aku segera mencium punggung tangan kedua orang tuaku dan berangkat menuju ke sekolah. Sepertinya biasanya, aku datang ke sekolah lebih pagi. Begitu aku sampai di sekolah, aku berjalan di koridor kelas sebelas yang masih sangat sepi. Aku langsung menuju kelas Kak Raffa tanpa menaruh terlebih dahulu tas sekolahku di dalam kelas.
Masuk ke kelas Kak Raffa dengan mengendap-endap membuatku kelihatan seperti pencuri. Padahal aku hanya ingin menaruh kotak bekalku di kolong mejanya Kak Raffa. Begitu selesai menulis note, aku langsung berlari keluar kelas yang tanpa di sengaja saat itu aku bertabrakan dengan Kakak kelas sebelas.
"Lo kalau jalan liat-liat! Sakit nih bahu gue di tabrak sama lo."
"Hehe... maaf Kak, aku nggak sengaja."
Aku seperti pernah melihatnya, tapi entah dimana. Rasa penasaranku memuncak, aku lihat badge nama di seragamnya dan aku langsung menundukkan kepala. Karena dia salah satu Kakak mentor saat aku masih dalam masa MOPDB. Namanya Dina. Ia cantik, kulitnya kuning langsat, tapi sayang dia sangat tidak bisa menjaga mulutnya. Maksudku, ucapan yang ia lontarkan selalu perkataan pedas dan menyindir. Itu selalu dapat masuk sampai ke ulu hati.
"Ah, yaudah sana! Jangan bikin hari gue tambah ancur!"
Aku hanya mengangguk dan segera berlari menuju kelasku. Koridor sudah terlihat ramai orang yang berjalan menuju kelasnya masing-masing. Sampai di ambang pintu kelas, aku masih belum melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam kelas.
Duk!
Pintu kelas di buka oleh seseorang dan membuat dahiku terbentur pintu. Aku melangkah mundur sambil memegangi dahiku. Semoga dahiku nggak seperti ikan lohan.
"Eh, ternyata lo yang di depan pintu, Le? Maaf, gue kira nggak ada orang di depan pintu makanya gue langsung buka aja."
"Lain kali kalau mau buka pintu itu bilang. Seenggaknya ketuk pintu dulu," ucapku langsung memasuki kelas.
Fachru---teman kelasku---menatapku dengan bingung dan ia hanya mengangkat kedua bahunya. Kulihat Viola sudah datang, tapi ia asik dengan earphone di telinganya. Dahiku masih terasa nyeri sampai saat ini. Apa bener yah, ini dahiku udah jadi ikan lohan. Aduh... mikir apa sih, ngaco aja.
Mataku menyipit ketika Viola tersenyum kepadaku begitu sudah melepaskan earphone pada telinganya. Masih dengan senyuman yang tercetak di bibirnya, ia tidak menceritakan apa yang terjadi dengannya.
"Lo kenapa, Vi?"
"Ada sesuatu yang buat gue seneng."
"Ada hubungannya sama Kak Divo?"
Viola tidak menjawabku, malah ia hanya meringis saja. Alisku yang tadinya sudah benar di posisinya, jadi terangkat sebelah ketika melihatnya seperti itu.
"Lo di ajak jalan sama dia?" tebakku.
"Yaps! Dia ajak jalan gue ke Festival Jepang. How awesome!" pekik Viola. "Gue udah mikir lama buat ke sana, tapi nggak ada temennya. Dan saat Kak Divo bilang itu, gue langsung setuju dan hari Sabtu nanti gue sama dia ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
BE A RAINBOW
Teen FictionAwalnya aku nggak percaya sama yang namanya "Love at first sight" sampai akhirnya aku melihatnya untuk yang pertama kali. Aku suka dan tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata betapa tampannya dia. Tapi, hatiku sakit melihat orang yang aku suka sudah...