Em11 \\ he was the one who saw her so messed up

749 118 22
                                    

RUANGAN ini masih menjadi tempat mereka duduk berhadapan; menjadi tempat perempuan merapal pinta agar dalam menjalankan pekerjaannya, Jaehyun bersikap profesional, seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

RUANGAN ini masih menjadi tempat mereka duduk berhadapan; menjadi tempat perempuan merapal pinta agar dalam menjalankan pekerjaannya, Jaehyun bersikap profesional, seperti biasa.

Cerita belum dirapal habis. Untuk mendengar kelanjutannya, Jaehyun diminta mengeringkan tangis.

Padahal, Jaehyun adalah pihak penuntut; setiap hari, menuntut perempuan itu untuk bercerita. Tapi, ketika hari ini telinganya benar-benar disuguhkan cerita, Jaehyun seperti tak memiliki cukup kapasitas untuk menampung seluruhnya.

Dadanya tak cukup lapang, terasa sesak. Matanya berangsur-angsur padam, terasa panas.

Maka, sebagai manusia yang agaknya masih menjadi yang paling mengerti Jaehyun di dunia ini, perempuan itu katakan,

"Akan aku lanjutkan lain kali."

Ruang rehabilitasi mental ditinggalkan. Sehari kemudian, didatangi lagi, tetapi semua orang tahu lain kali adalah masa yang tak pasti.

Tidak ada sambungan cerita keluar dari mulut Rose hari itu, dua hari, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan enam bulan setelahnya.

Jaehyun pikir, sampai kapanpun, ia tak akan pernah mendengarnya lagi.

Sekalipun mendengar itu sama seperti membuka buku lama bersampul dosa-dosa, Jaehyun masih tetap menantikan harinya.

Dan, hari itu tiba.

Di ruangan yang sama, yang tak banyak berubah, Jaehyun kembali duduk untuk mendengar perempuan itu merapal sudut pandangnya.

"Sebentar lagi, aku sampai. Ini agak macet. Sabar, ya, Cantik."

"Kepulangannya adalah hal yang paling kunantikan. Saat di mana aku bisa melihatnya, memeluknya, dan merasakannya, tidak ada yang lebih membahagiakan dari saat-saat yang hanya punya masa sesaat itu. Satu tahun sekali, dia pulang ke rumahku. Menghabiskan seminggu waktu liburnya untuk menemaniku. Karena seminggu terlalu sedikit, rasa-rasanya aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dengannya. Aku tidak ingin mengacau dengan berkeluh kesah padanya. Aku benar-benar hanya ... ingin berbahagia dengannya."

"Berjalanlah pelan-pelan! Tetap waspada dan jangan lengah! Jangan matikan GPS-mu! Tekan tombol satu kalau kamu dalam kondisi darurat! Dan, satu lagi, tenang dan percayalah, karena aku akan selalu ada di sekitarmu."

"Malam itu, aku mengajaknya menonton kirab budaya dan pesta kembang api di pusat kota. Rasa-rasanya sudah lama tidak ke sana. Kami datang dengan cara berjalan terpisah. Kendati demikian, aku masih tetap bahagia. Saking bahagianya, ketika menatap langit yang megah malam itu, aku lengah. Orang-orang di sekitarku tiba-tiba saja menjadi sangat banyak. Dan berada di antara desakan mereka, aku menjadi panik."

"Ponselku terjatuh. Ketika hendak mengambilnya, kacamataku kemudian ikut jatuh. Keduanya terinjak-injak kaki orang-orang dan aku bingung mana yang mesti kuselamatkan. Aku berhasil menyelamatkan ponselku, tapi tidak dengan kacamataku. Dan, aku semakin panik, takut apabila orang-orang akan mulai mengenaliku. Jadi, aku menjauhi kerumunan. Kupikir, aku berhasil menyelamatkan ponselku, tapi ternyata tidak. Itu rusak, jadi aku tidak bisa menghubungi siapa pun."

SERENADE IN E MINOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang