MEREKA masih duduk berhadapan. Ruang rehabilitasi mental masih menjadi latar. Cerita belum juga habis dirapal.
"Kemudian, hari itu tiba. Saat di mana dia melihat Roseanne Park sangat berantakan."
Pandang yang sedari tadi berpendar ke banyak arah, kini hanya mengarah pada satu laki-laki yang punya lautan muram di kedua matanya.
Mereka saling menatap. Untuk potongan yang barangkali paling menyakitkan itu, Rose sebagai pencerita dan Jaehyun sebagai pendengar, keduanya telah bersiap untuk kembali mengenang sekaligus merasakan ulang sakitnya.
"Apa harus kusebutkan satu-satu apa kontribusiku hingga kamu bisa seperti sekarang?! Hah?! Dasar anak tidak tahu terimakasih!"
"Hari itu, ibuku datang ke rumah. Sebenarnya, aku cukup memberinya uang, seperti biasanya. Maka, keributan itu tidak akan pernah ada, kekasihku tidak akan menyaksikannya, tidak akan tahu bahwa hubunganku dengan ibu tidak sebaik yang aku ceritakan padanya. Tapi, hari itu, entah mengapa aku merasa cukup lelah. Sedikit muak."
"Memangnya aku ingin jadi seperti ini? Memangnya aku minta dijadikan seperti aku yang sekarang?! Tidak! Ibu yang mendorongku untuk terus melakukannya. Demi memuaskan ambisi Ibu menjadi orang kaya, Ibu melakukan segalanya untuk menjadikanku seorang aktris. Aku hanya ... aku hanya tidak lebih dari sekedar ... sapi perahmu."
"Aku bicara begitu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berteriak pada ibuku, aku mengatakan apa yang selama ini tersimpan di hatiku. Bahwa sebenarnya menjadi aktris bukan keinginanku. Itu hanya rasa ingin balas budi yang timbul dalam diriku setelah ayah mengalami kecelakaan karena aku menyuruhnya cepat pulang di hari ulang tahunku yang ke tujuh. Karena setelah itu, kami harus pulang ke rumah nenek agar tidak perlu membayar uang sewa rumah, lalu ibuku harus mengerjakan segalanya untuk mendapatkan uang, untuk membayar uang sekolahku, menyewa tutor belajar untukku karena aku sering meninggalkan jam pelajaran untuk syuting, untuk pakaian bagusku, rambut cantiku, wajah cantikku. Ibuku melakukan semuanya."
"Mencuci pakaian keluarga mantri. Mengantar susu kemasan. Menjadi pekerja swalayan, restoran ayam, panti pijat. Dan, melihatnya, terkadang aku berpikir ... ah, benar, aku harus jadi aktris seperti harapan Ibu, aku harus menghasilkan banyak uang dan membayar semua pengorbanannya."
"Tapi, anak tidak tahu diri ini malah tega berkata begitu. Dan, berakhir ditampar."
"Pasti sakit, ya."
"Sakit. Rasanya tetap sakit, meski sudah sering menerimanya. Saat aku gagal membawa pulang piala penghargaan, saat rating dramaku rendah, saat aku tidak sadar memasang wajah cemberut di muka publik dan membuat skandal, saat aku lupa menyebut namanya ketika naik ke podium. Ibuku menamparku."
"Benar, itu ibuku. Aku seharusnya tidak kaget lagi. Karena sejak kecil pun Ibu sering mencubitku, menarik rambutku, memukul punggungku. Mengapa itu tetap terasa sakit? Mengapa hatiku tidak lega menerimanya? Mengapa aku terkadang mengharapkan agar tidak terlahir saja ke dunia, atau setidaknya dilahirkan dari rahim Ibu yang lain? Ibu yang ketika seluruh dunia mengecamku, ia akan mengirimkan pesan berisi dukungan, bukan malah pesan berisi kemarahan, peringatan, dan ancaman. Ibu yang ... setidaknya menanyakan apa kamu makan dengan baik? bukan hanya mengatakan aku butuh sepuluh-dua puluh ribu dolar."
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADE IN E MINOR [END]
Fiksi Penggemarmemangnya, apa gunanya, sebagai manusia yang mengaku mencinta, ketika kekasihnya terluka, ia hanya sibuk menonton dan bertepuk tangan? [SERENADE IN E MINOR] by linasworld