Hari sudah mulai gelap, matahari telah kembali menyembunyikan dan kini sang rembulan sedang mulai menampakkan dirinya. Oleh karena itulah senja tiba. Suasana ibu kota sangat ramai dan padat. Sudah waktunya para pekerja pulang ke rumah. Disaat itu juga Arelle tengah berdiri di depan gedung tempat lesnya.
Gadis pemilik rambut hitam panjang itu memang sengaja tidak memesan ojek online untuk pulang ke rumah, karena sebelumnya Mahen mengatakan bahwa Eric akan menjemputnya seusai les.
Kedua mata Arelle melirik jam yang muncul pada layar ponselnya. Tak terasa sekarang sudah jam enam lewat sepuluh menit. Kurang lebih sudah lima menit Arelle menunggu Eric tiba. Remaja perempuan itu bersabar seraya terus memainkan ponselnya.
Tin tin...
Tak disadari, ternyata di hadapan Arelle sudah ada mobil Porsche Panamera berwarna abu. Dengan melihatnya saja Arelle langsung mengetahui bahwa itu adalah mobil milik Eric. Tak heran, karena tidak banyak yang memiliki mobil Porsche Panamera terutama berwarna abu. Tanpa berlama-lama, dia langsung bergegas masuk ke dalam mobil berwarna abu tersebut dan duduk di kursi depan.
"Halo, kak," sapa Arelle saat baru saja menutup pintu mobil Eric.
"Lama ya nunggunya?" Eric memberikan pertanyaan.
Arelle menggelengkan kepala seraya tersenyum, kedua matanya menatap pria di sebelahnya, mengamati Eric yang berpenampilan sangat rapih. "Enggak kok, kak."
Selain itu Arelle juga menyadari bahwa selurh barang yang digunakan oleh Eric adalah barang-barang dengan harga mahal. Salah satu barang yang Arelle kenal betul adalah jam tangannya. Jam tangan Rolex dengan Oystersteel dan kuning gold, ya itu adalah Rolex GMT-Master II yang memiliki harga 16.500 USD atau kurang lebih 250 juta rupiah.
"Kamu sudah makan?" ucap Eric seraya melajukan mobilnya.
"Belum, tadi habis dari sekolah langsung les."
"Mau makan dulu?"
"Boleh, kak."
Tanpa mengatakan apapun Eric langsung mengendari mobil abu miliknya menuju ke sebuah restaurant yang sering dia kunjungi. Perjalanan mereka memakan waktu selama lima belas menit, itu terbilang cepat karena kini ibu kota sedang ramai-ramainya. Selama di perjalanan mereka tak banyak berbicara, Eric fokus mengemudi sedangkan Arelle fokus memainkan ponselnya.
Setelah lima belas menit, mobil Eric telah terparkir dengan sempurna di parkiran restaurant. Namun sebelum mereka melangkah keluar dari mobil, Eric meraih jaket kulit berwarna coklat miliknya dari kursi belakang, lalu memberikannya kepada Arelle.
"Pakai jaketnya, biar gak terlalu kelihatan pakai seragam!" Eric memberikan perintah.
Arelle menganggukkan kepalanya dengan paham seraya meraih jaket itu dari tangan Eric. Dengan pelahan Arelle memakai jaket kulit tersebut, kemudian dia melangkah keluar dari dalam mobil.
"Ayo," ajak Eric.
Mereka berdua melangkah masuk ke dalam restaurant. Saat di pintu masuk, terdapat seorang waiter yang menyambut mereka berdua dengan hangat. "Selamat Malam, apakah sudah reservasi?"
"Belum," timpal Eric.
"Baik, untuk berapa orang?"
"Dua orang."
"Baik, mari saya antarkan ke meja." Waiter itu masih tersenyum ramah dan hangat, kemudian melangkah mengantarkan ke sebuah meja yang dikhususkan untuk dua orang. Sesampainya di meja untuk mereka, Arelle dan Eric bergegas duduk di kursi maisng-masing.
Ah, tempat ini sangat nyaman dengan nuansa abu, putih, hitam, dan gold. Suara para pengunjung tidak bising, sangat kondusif, terlebih di sudut ruangan terdapat seseorang yang memaikan saxophone dengan merdu. Arelle langsung mengetahui bahwa restaurant ini adalah restaurant mahal.
"Silakan dilihat dulu menunya," tutur sang waiter seraya memberikan dua buku menu, satu untuk Eric dan satu untuk Arelle.
Dengan pelahan Arelle membuka setiap lembaran pada buku menu. Benar saja, restaurant ini adalah restaurant yang memiliki harga makanan mahal. Arelle sendiri tidak terlalu terkejut, karena sejak kecil Arelle sering diajak Edwin untuk makan dibeberapa restaurant ternama di Jakarta, seperti House Of Yuen dan Vong Kitchen.
"Disini steaknya enak," ucap Eric seraya menatap Arelle.
"Yasudah aku itu aja kak."
"2 steak tenderloin medium well," turu pria itu pada sang waiter tanpa menatapnya, karena Eric masih melihat-lihat buku menu. Setelah itu Eric menatap Arelle kembali. "Mau minum apa?"
"Mocktail Limoncello."
Pria tampan itu menganggukkan kepala dengan pelan, lalu menatap waiter yang siap untuk mencatat pesanan mereka selanjutnya. "1 Mocktail Limoncello dan 1 Chilcano de Maracuya. Itu saja."
"Baik, mohon ditunggu."
Waiter itu pun melangkah pergi untuk menyampaikan pesanan Arelle dan Eric kepada chef di dapur. Kini Arelle hanya diam sedikit canggung karena duduk berhadapan dengan Eric dan mereka hanya berdua, berbeda dengan saat mereka di mall, karena saat itu ada Mahen bersama mereka.
"Kamu setiap hari Selasa dan Kamis ada les?" Eric memberikan pertanyaan untuk memecah keheningan diantara mereka berdua. Suara pria itu selalu saja terdengar tenang dan berat, sepertinya itulah ciri khas yang dimiliki oleh Eric.
"Iya, jam tiga sampai jam enam."
"Sudah memutuskan mau kuliah dimana?"
Dengan perlahan Arelle menggelengkan kepalanya. "Belum, masih bingung."
"Mau coba keluar negeri?"
"Kemana?"
"Universitas Toronto di Kanada."
Perkataan Eric membuat Arelle terdiam sebentar untuk berpikir. Arelle sendiri belum memiliki rencana ingin melanjutkan pendidikan di universitas mana, tetapi kuliah di luar negeri, terutama di Universitas Toroto merupakan mimpi dari banyak orang. Haruskah Arelle mencobanya?
Tak lama seorang waiter datang membawakan dua minuman pesanan mereka berdua serta menyajikan welcome bread beserta soup untuk roti tersebut. Setelah sang waiter pergi, Eric mulai menyantap welcome bread dengan perlahan dan diikuti oleh Arelle.
"Tidak perlu khawatir kalau kamu takut sendirian disana," tutur pria itu dengan tenang, lalu dia memakan roti yang sudah ada di tangannya dan mengunyahnya dengan pelan hingga menelannya. "Tahun depan saya akan bekerja di Toronto selama tiga tahun."
Lagi-lagi Arelle diam berpikir, hanya saja kali ini dia berpikir seraya memakan roti. Tak lama gadis cantik yang kini masih menggunakan seragam SMA dan jaket kulit berwarna coklat milik Eric pun menganggukkan kepalanya.
"Nanti aku pikirin lagi," jawab Arelle dan dibalas oleh anggukkan kepala dari Eric.
Beberapa menit kemudian, steak yang mereka pesan telat tiba. Steak Tenderloin yang sangat menggiurkan dengan aroma yang enak. Selain itu juga terdapat beberapa saus untuk steak tersebut, seperti saus tartar, jamur, dan dua macam saus lainnya.
Tanpa berlama-lama mereka segera menyantap makanan itu dengan tenang. Sesekali Eric mencuri pandang untuk menatap gadis di depannya. Gadis yang menurutnya sangat cantik. Gadis baik yang mampu menarik perhatian Eric sejak pertama kali Eric melihatnya.
'Cantik,' batin Eric dengan tetap mempertahankan wajah tenangnya.
-To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Arelle and Her Stepbrothers
عاطفيةSiapa sangka setelah bertahun-tahun kepergian sang mamah, membawa Arelle berada dalam sebuah keluarga baru? Edwin memutuskan untuk menikah kembali dengan Kanaya, seorang single parent yang memiliki tiga anak laki-laki. Tentu saja pernikahan antara E...