Part 2 : Engaged

510 35 0
                                    

Mahendra Reifansyah, seorang remaja laki-laki kelas 12 SMA yang kini berusia 18 tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mahendra Reifansyah, seorang remaja laki-laki kelas 12 SMA yang kini berusia 18 tahun. Mahendra atau Mahen adalah anak terakhir dari pasangan Kanaya Nasyara dengan mendiang Rony Aditya. Dimalam ini Mahen menemani sang ibu, yaitu Kanaya untuk bertemu dengan Edwin dan putri tunggal Edwin di restaurant bintang lima. Namun siapa sangka bahwa putri tunggal Edwin adalah Arelle, yaitu gadis cantik yang sangat dikenal oleh Mahen.

"Kok kalian sudah kenal?" tanya Kanaya dengan bingung.

"Mah, Arelle itu temen sekelas Mahen," jawab Mahen dengan santai seraya mendudukkan tubuhnya di sebuah kursi, tepatnya di sebelah Kanaya.

"Iya tante, aku temen sekelas Mahen," sahut Arelle dengan suaranya yang terdengar hangat seperti mentari pagi. "Mahen itu kan ketua kelas IPS 1, anak OSIS juga, pasti semua orang kenal Mahen."

Kanaya tertawa karena Arelle seperti memuji sekaligus memberikan candaan terhadap putra bungsunya, yaitu Mahendra Reifansyah. "Tapi tante seneng kalau kalian berdua sudah saling kenal."

Disisi lain, Edwin merasa suasana seperti ini adalah suasana yang hangat dan bahagia. Rasanya sudah lama sekali Edwin tidak merasakan kebahagiaan bersama keluarga seperti ini, walaupun sebenarnya Edwin belum resmi menikah dengan Kanaya, tetapi Edwin sudah dapat merasakan kebahagiaannya dengan keluarga barunya.

"Pah, dimulai sekarang aja, takutnya kemaleman," bisik Arelle kepada Edwin.

"Iya, baiklah." Edwin mengambil sebuah kotak berwarna hitam dari dalam saku celananya, kemudian menaruhnya di atas meja.

Kini tangan Edwin menyentuh tangan Kanaya dengan lembut, perlahan menggenggamnya seraya mengusap ibu jarinya di punggung tangan wanita cantik itu. Walaupun usia Kanaya sudah mencapai 46 tahun, tetapi Kanaya masih memiliki wajah cantik dan seperti masih muda.

"Kanaya, saya disini datang bersama Arelle dengan niat baik. Kita sudah menjalani hubungan selama satu setengah tahun dan sudah saatnya kita menuju ke jenjang yang lebih serius," ucap Edwin dengan serius, tetapi terdengar lembut dan hangat.

Disisi lain, Arelle membuka kotak cincin berwarna hitam lalu menunjukkan sebuah cincin berlian yang indah ke hadapan Kanaya. Bibir Arelle sedari tadi tidak bisa berhenti tersenyum, Arelle benar-benar merasa senang.

"Maukah kamu menikah denganku, Kanaya?" Edwin melamar Kanaya di hadapan Arelle dan Mahen.

Malam ini adalah malam lamaran Edwin dengan Kanaya, tetapi mereka hanya ingin lamaran mereka disaksikan oleh anak mereka masing-masing, oleh karena itu Arelle dan Mahen ada disini, walaupun sebenarnya masih ada dua kakak laki-laki Mahen, tetapi mereka tidak bisa hadir.

Setelah mendengar ucapan Edwin, kini Kanaya menjatuhkan air mata. Bukan air mata kepedihan, tetapi air mata rasa bahagia. Dengan perlahan Kanaya tersenyum dan membuka mulutnya, "Ya, aku mau."

Hati Edwin dan Arelle terasa lega. Kini Edwin mengambil cincin berlian dari dalam kotak hitam, lalu memakaikannya di jari manis tangan kiri Kanaya. Cincin itu sangat pas di jemari Kanaya dan terlihat cantik saat terpasang dengan sempurna.

Disaat Edwin dan Kanaya saling menatap dengan penuh bahagia, disisi lain Mahen menatap Arelle sambil menunjukkan dua ibu jarinya, sehingga Arelle tertawa dengan aksi ketua kelasnya yang kini akan menjadi saudaranya.

Setelah itu, mereka semua langsung menyantap makanan yang telah tersedia di atas meja. Suasana tidak terasa sepi karena Arelle, Mahen, Edwin, dan Kanaya berbincang dengan santai, sehingga mereka tidak mengalami mati topik atau suasana yang canggung. Hingga kini waktu telah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Mereka berjalan beriringan untuk keluar dari restaurant, sudah waktunya untuk pulang.

Sebelum masuk ke dalam mobil masing-masing, Edwin berbicara sebentar dengan Kanaya, sedangkan Mahen mendekat ke arah Arelle hingga kini remaja laki-laki itu berdiri tepat di sebelah Arelle.

"Jadi... kita bukan temen lagi?" Mahen membuka suara.

Arelle menatap laki-laki di sebelahnya. "Gue masih shock karena lo anaknya tante Kanaya."

"Gimana ya, namanya takdir."

Saat itu Arelle hanya tersenyum, ucapan Mahen memang benar, semua ini karena takdir. Hanya saja tiba-tiba Arelle teringat sesuatu, teringat dengan kedua kakak Mahen yang tidak hadir malam ini.

"By the way, kakak lo kenapa pada gak dateng?" tanya Arelle seraya menatap Mahen dengan penasaran.

Ukiran senyum Mahen di wajahnya memudar. Kepala Mahen tertunduk sebentar, sedangkan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana hitamnya.

"Yang satu sibuk kerja, yang satu lagi sibuk kuliah," jawab Mahen dengan pelan, lalu menatap Arelle sambil menunjukkan senyumnya dengan perlahan.

"Mereka sesibuk itu ya?"

Mahen menghela napas. "Sebenarnya kakak pertama gua gak peduli kalau mamah mau nikah lagi, kalau kakak kedua gua malah gak setuju mamah nikah lagi."

Fakta yang diungkapkan oleh Mahen, membuat Arelle diam mematung dengan seketika. Dapat disimpulkan bahwa pernikahan Kanaya dengan Edwin tidak disetujui oleh kedua anak Kanaya, karena hanya Mahen yang menyetujui Kanaya untuk menikah lagi.

"Tapi tante Kanaya tetep nikah sama papah gue, itu serius gak apa-apa?" Arelle bertanya dengan khawatir.

Mahen seperti paham bahwa terdapat kekhawatiran pada Arelle setelah mengetahui fakta mengenai kedua kakanya. Tangan kanan Mahen bergerak dengan perlahan untuk menyelipkan sehelai rambut Arelle ke belakang telinga Arelle.

"Mamah tadinya mau tolak lamaran om Edwin karena kakak gua gak setuju," Mahen berhenti sejenak dan menatap wajah cantik Arelle dengan dalam-dalam. "Tapi gua mau mamah gua bahagia, jadi gua paksa mamah untuk terima lamaran om Edwin dan gak usah pikirin kakak gua yang gak setuju."

"Is that okay?" remaja permpuan itu masih menatap Mahen dengan khawatir.

Senyuman Mahen semakin terukir untuk menenangkan Arelle. "Tenang aja, semua baik-baik aja."

"Arelle Maheswari, ayo sayang," panggil Edwin kepada putri tunggalnya.

Arelle menoleh ke arah Edwin sebentar, lalu kembali menatap Mahen. "Gue balik dulu, kalau ada apa-apa, chat gue ya."

"Amann..."

Perempuan pemilik rambut hitam itu tersenyum, lalu melangkahkan kedua kakinya menuju ke tempat dimana mobil milik Edwin terparkir. Tangan kanannya bergerak membuka pintu mobil, kemudian Arelle mendudukkan tubuhnya di kursi depan, tepatnya di sebelah kursi pengemudi. Tak lama Edwin masuk ke dalam mobil dan langsung mengemudikan mobilnya untuk pulang ke rumah.

Jalanan ibu kota saat ini sudah sangat renggang, sepertinya karena sudah tengah malam maka orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Suasana di dalam mobil juga sangat sepi, hanya ada lagu-lagu yang diputarkan oleh radio. Arelle sendiri juga tidak membuka pembicaraan apapun, karena Arelle terus memikirkan ucapan Mahen sebelumnya terkait kedua kakak Mahen yang tidak menyetujui pernikahan Kanaya dan Edwin. Arelle hanya tidak mau Kanaya dan Edwin menikah dengan rasa tertekan karena anak-anak mereka yang tidak setuju.

Ting...

Tiba-tiba saja Arelle dikejutkan dengan suara notifikasi pesan yang muncul pada ponselnya. Tangan kanannya segera merogoh tas miliknya dan mengambil ponsel dari dalam tas tersebut. Kini kedua mata Arelle menatap pesan singkat yang baru saja dikirimkan oleh Mahen.

Mahen : Yang tadi gak usah dipikirin
Mahen : Kakak gua pasti bakal nerima kok, cuma butuh waktu aja

Kini rasa khawatir Arelle mulai mereda. Dia benar-benar berharap bahwa kedua kakak Mahen dapat menerima pernikahan Kanaya dan Edwin dengan perlahan.

-To Be Continue

Arelle and Her StepbrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang