47 - PAINFUL APOLOGY

15 0 0
                                    

Happy reading ♡



"Kalaupun dia beneran berpaling, masih ada Abang, kan?"

Mata Queenza langsung berkaca-kaca. Bibir mungilnya melengkung kebawah. Isakan menahan tangis terdengar pelan saat matanya menabrak netra Abangnya. "T-tapi, Queen suka Dava, Abang..." cicitnya pelan.

Gerald terdiam. Ia paling tidak suka melihat gadis yang disayanginya menangis, terlebih penyebabnya lelaki. Rahangnya mengeras, kepalan tangannya menguat. Queenza sibuk menahan tangis sementara Gerald berusaha untuk menahan amarah. Ia menarik Queenza ke pelukannya, didekap erat Adiknya. Tangannya mengelus belakang kepala Queenza yang bersandar di dadanya. "Jangan tangisi dia, Queen..." Suara Gerald sedikit parau akibat amarah yang ditahan.

Tangisan Queenza lebih terdengar jelas. Ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang Gerald. Tangannya melingkar memeluk Gerald. Menumpahkan air mata di dekapan hangat lelaki itu.

Tatapan Gerald perlahan menyorotkan sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan sebelumnya. Tak ada lagi kelembutan di sana. Urat di leher lelaki itu menonjol. Semakin dieratkannya pelukan pada tubuh yang terasa mungil baginya. Gerald benci ini. Kebencian selalu tumbuh di hatinya tiap kali melihat sosok yang disayangi dan dijaganya menangis karena ulah seseorang. Bahkan ia pernah membenci dirinya sendiri karena membuat Queenza menangis, apalagi jika pelakunya orang lain.

Gerald masih memeluknya, ia menjatuhkan kepalanya di pundak Queenza, menenggelamkan wajahnya di sana. "Ini alasan Abang dan Papa selalu larang dan membatasi hubungan kamu dengan lelaki lain, Queen... Selain karena takut kehilangan kamu, We're also don't want to seeing you like this. Abang dan Papa cuma mau ngejaga kamu. Walaupun terkadang berlebihan, tapi kami murni ngelakuin ini untuk kebahagiaan kamu, Queen."

Jeda sejenak, "and now... Ngelihat keadaan kamu, Abang ngerasa gagal ngejaga Queen. Abang lalai, forgive me... maaf karena lengah, dan akibatnya kamu malah ngerasain hal ini."

Queenza menyimak semuanya. Setelah lama saling terdiam, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia mendongak, air matanya sudah kering. Tak ada isakan lagi. "Kenapa Abang malah nyalahin diri Abang? Ini murni salah Queen karena nggak mau dengar apa yang Abang dan Papa bilang. Queen keras kepala, bahkan sampai diam-diam pacaran dibelakang kalian. Jadi, Abang jangan salahin diri sendiri... Ini bukan kesalahan Abang."

Selama Queenza berbicara, selama itu pula mata Gerald menatap lekat wajah gadis itu. Setelahnya ia kembali menarik Adiknya ke pelukan dan menyandarkan dagunya di puncak kepala Queenza.

Sialan lo, Davano... Berani-beraninya buat Queen keluarga ini nangisin kelakuan lo. Nggak akan gue biarin.

* * *

Di dalam kamar, Gerald menatap kearah luar jendela. Matanya menerawang sedang menyusun rencana apa yang sebaiknya ia lakukan pada pelaku yang membuat Queenza menangis.

Tangannya bergerak meraih ponsel yang berada tak jauh diatas meja dekatnya. Mengetik sebentar sebelum menempelkan benda canggih itu ke telinga. Sambungan terhubung.

"Kita perlu bicara."

Singkat. Hanya tiga kata yang dikeluarkannya setelah sambungan terhubung kemudian langsung diakhiri sepihak. Singkat, namun Gerald yakin Davano tahu apa yang membuat lelaki itu mendapat serentetan kata tersebut darinya.

Queen's Life GuardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang