"Seiring dengan angin berhembus, kabar burung berkembang, seperti bayangan di dinding, tak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kehidupan."
Di pagi hari yang sangat dingin saat matahari mulai terbit, Karenina berjalan seperti biasa melalui lorong-lorong pasar yang ramai, tas belanja merah bermotif bunga-bunga bergantung di lengannya. Ia tersenyum ramah kepada para pedagang yang berjejer di kedua sisi lorong seperti biasa, mencari barang-barang yang akan dibeli untuk keperluan kafe dan penginapan. Namun, sesekali ia merasakan mendapat tatapan tajam dari beberapa pedagang wanita di sepanjang lorong.
Di antara bisikan-bisikan yang terdengar, ia bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres. Karenina merasa ada kegugupan yang tidak biasa di udara, dan ia mulai menyadari bahwa ia sedang menjadi pusat perhatian para pedagang disana.
Ketika ia membeli sayuran dari salah satu penjual, ia merasa pandangan tajam dari wanita itu yang membuatnya sedikit tidak nyaman. "Maaf, sudah dipesan semua hari ini. Beli di sebelah sana saja." ucap wanita itu dengan suara yang dingin, menolak untuk melayani Karenina.
Karenina bingung dengan reaksi penjual wanita itu, tidak mengerti apa yang telah ia lakukan sehingga membuat penjual itu menjadi begitu kasar. Namun, ia mencoba untuk tidak memperlihatkan kekecewaannya dan melanjutkan perjalanannya melalui pasar.
Namun, setiap penjual yang Karenina dekati memberikan reaksi yang serupa. Ada yang menolak melayani dengan alasan sibuk, sementara yang lain memberikan senyuman palsu yang jelas tidak tulus. Karenina merasa semakin terpojok, tidak mengerti mengapa ia menjadi target perlakuan tidak ramah ini.
Saat ia melintasi lorong yang lain, ia bisa mendengar bisikan-bisikan di antara para pedagang. "Hati-hati, jangan tertipu dengan wajah cantik dan polosnya, bisa-bisa ia menggoda suami mu juga" kata salah satu dari mereka sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar banyak orang.
Karenina tersentak mendengar ucapan aneh tentang dirinya lalu kembali menuju homestay. Meskipun ia merasa kesal dan terluka oleh perlakuan para pedagang, ia memilih untuk menjaga sikap yang tenang karena ia tahu bahwa ia tidak seperti ucapan para wanita itu.
**
Pukul 1 siang Alan pulang dari sekolah berjalan kaki dengan teman-temannya seperti biasa sambil bercanda.
Mereka sampai di depan rumah Wahyu.
"Yu, jangan lupa latihan bola sore!" Teriak Alan saat Wahyu memasuki rumahnya.
"Oke, samper aku nanti Lan!" Sahut Wahyu bersemangat.
Lalu Alan melihat Ibu Wahyu menarik tas Wahyu dari pundaknya masuk ke dalam rumah. "Wes, gak usah main sama Alan lagi," Perintah Ibunya.
Alan bingung melihat reaksi dan perkataan ibu Wahyu.
Saat melewati rumah Danar pun demikian. Ibunya tidak mengizinkan Danar main dengan Alan saat Alan mengingatkan untuk latihan bola nanti sore.
"Assalamualaikum," Ucap Alan dengan suara lemah, begitu sampai di homestay sambil melemparkan badannya ke sofa ruang tengah.
"Waalaikumsalam." Jawab Karenina. "Alan yang sopan ada tamu," Karenina menegur anaknya sambil menoleh ke arah tamu homestay yang sedang menyantap makan siang di ruang makan.
Alan memperbaiki posisi duduknya. "Masa Wahyu sama Danar gak dibolehin main bola sama aku," Cerita Alan kecewa.
"Loh, siapa yang gak bolehin? Pak guru?" Tanya Karenina duduk disampingnya.
"Bukan ma, Ibu nya," Kata Alan lalu menceritakan kejaian sepulang sekolah tadi.
Karenina mengerutkan dahinya ia bertanya dalam hati apakah ini ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi di pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANGERINE (Sudah Terbit)
RomanceHello, Salam kenal semua, ini adalah novel pertama saya. Saat ini saya sedang butuh sekali feedback, komentar, dan vote dari kalian semua pembaca setia wattpad. Semoga Kisah ku ini bisa disukai oleh kalian. Selamat membaca.. Vote dan komen kalian s...