BERDAMAI

6 3 1
                                    


"Damai bukanlah hanya keadaan tanpa konflik, tetapi keadaan di mana konflik diselesaikan dengan bijaksana dan saling pengertian."


     Di suatu sore yang cerah di sebuah lapangan di tengah desa. Karenina duduk di tribun sederhana yang terbuat dari kayu. Ia begitu penuh semangat menyambut pertandingan sepak bola junior antar kampung. Ia menatap lapangan dengan bangga, melihat anaknya Alan berlatih pemanasan bersama timnya. Karenina memberikan sorakan riang sebagai bentuk dukungan di setiap gerakan yang dilakukan Alan.

Ketika pertandingan dimulai, Karenina berdiri tegak, bersiap untuk memberikan dukungan penuh kepada Alan dan timnya. Setiap kali Alan mendapatkan bola atau melakukan tendangan yang baik, Karenina bersorak keras dengan bangga disertai teriakan dan tepuk tangannya yang menggema di lapangan.

Di tengah-tengah keseruan pertandingan, Bu Ambar datang duduk di kursi yang kosong tepat disebelah Karenina. Ibu Ambar duduk dengan ragu, matanya sesekali memandang Karenina yang duduk di sebelahnya, dengan ekspresi malu dan perasaan bersalah.

Karenina menyadari ada orang yang duduk di sebelahnya, ia pun menoleh dan terkejut ketika melihat Ibu Ambar. Dengan suara yang gemetar, Ibu Ambar langsung menyampaikan permintaan maafnya kepada Karenina.

"Maafkan saya, Mbak Nina," Ucap Bu Ambar dengan suara yang rendah," Seharusnya saya tidak pantas menceritakan hal-hal yang tidak saya ketahui kepada ibu-ibu lain, saya sangat menyesal."

Karenina memandang Ibu Ambar dengan tatapan campuran antara sedih dan terharu. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata permintaan maaf tersebut.

Ibu Ambar melanjutkan, "Saya tidak ada maksud untuk menyebabkan penderitaan kepada siapapun, saat itu saya tersulut emosi. Maafkan saya ya Mbak Nina."

Ibu Ambar lalu memberikan sebuah keranjang kecil berisikan kue pie keju susu kesukaan Alan.

"Kata Bu Broto, Alan suka sekali kue pie keju susu. Jadi saya belikan ini khusus untuk Alan jauh-jauh dari kota, di toko kue yang paling mahal," Kata Bu Ambar dengan tulus namun tetap memamerkan kekayaannya.

Karenina yang baik hati tentu saja menerima kue itu dengan senyum. Senyuman penuh pengertian, menghargai keberanian dan ketulusannya untuk mengakui kesalahan. Bagaimanapun kesalahan adalah hal yang manusiawi, yang terpenting adalah sikap dan tindakan yang diambil setelahnya. Bagaimana keberanian untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf ketika melakukan kesalahan, serta kemampuan untuk memberikan pengampunan kepada orang lain.

"Iya Bu Ambar, saya juga minta maaf kalo sekiranya ada perkataan dan sikap saya yang kurang berkenan di hati Bu Ambar, saya masih berusaha beradaptasi dan masih belajar untuk menjadi warga yang baik, supaya bisa diterima disini," Ucap Karenina.

"Kamu sudah diterima menjadi warga sini Mbak Nina." Jawab Bu Ambar meyakinkan. "Eh nanti, kamu langsung laporan sama saya ya kalo suami saya itu mulai genit-genit lagi sama kamu! Biar saya jewer kupingnya," Lanjut Bu Ambar mencairkan suasana.

Karenina membalas dengan anggukan dan senyum manisnya. Dan selagi perasaan Bu Ambar sedang baik, Karenina langsung mengutarakan sesuatu yang sudah lama menjadi keresahannya juga.

"Bu Ambar, sebenarnya ada yang mau saya katakan juga dari kemarin," Ucap Karenina tersenyum ragu.

"Iya, ngomong aja Mbak Nin, enggak apa-apa." Kata Bu Ambar.

"Sebenarnya ada beberapa pembayaran yang belum diselesaikan Pak Joko saat bertamu. Saya agak kesulitan menagih langsung karena Pak Joko selalu bilang, Tangerine ramai berkat ia yang selalu membawa banyak tamu," Karenina menjelaskan dengan ragu.

"Astagfirullah suamiku..suamiku... bikin malu saja," Kata Bu Ambar kesal sambil memukul-mukul pahanya dengan kepalan tangannya. "Sekali lagi maaf ya Mba Nina, nanti Mba Nina biar langsung WA saya saja berapa nominalnya, biar saya selesaikan."

Karenina mengangguk dan tersenyum lega. Bu Ambar pun langsung mengakrabkan diri dengan Karenina, menonton pertandingan bola dengan seru sampai selesai.

Karenina melihat Alan menghampirinya dengan sangat bangga karena tim Alan berhasil memenangkan pertandingan bola. Mereka berpelukan dengan bahagia. Bu Ambar terharu sekali melihat kedekatan Karenina dengan anaknya. Ia membatin pasti tidak mudah membesarkan seorang anak sekaligus mencari nafkah seorang diri.

"Alan, Cah Bagus, selamat ya! pinter banget kamu main bolanya seperti Madona," Kata Bu Ambar turut senang.

"Madona? Madona siapa bu?!" Tanya Alan pada bu Ambar bingung, ia menenggak botol minumannya sambil berfikir apa ada nama pemain bola Madona. Bu Ambar juga terlihat bingung sendiri, sepertinya ia memang pernah mendengar bapak-bapak menyebut nama itu saat acara nonton pertandingan bola.

"Maksud Bu Ambar, Maradona Lan." Karenina menyahut sambil tertawa. Alan mengangguk tahu, dan Bu Ambar pun tertawa malu.

"Alan, Besok-besok kalau pulang sekolah atau habis main bola terus kamu laper, ke rumah ibu aja ya! Dirumah Ibu banyak makanan enak. Ada opor ayam, daging rendang, ada kue pie keju susu juga. Alan tinggal bilang mau apa, nanti Ibu sediain." Bu Ambar terdengar tulus mengatakan itu pada Alan. Ia merasa Iba juga kasihan pada Alan dan Karenina. Rasa penyesalan merasuki hatinya sehingga ia ingin menebusnya dengan menyayangi Alan seperti keluarga sendiri.

"Wah, bener ni bu Alan boleh makan dirumah Ibu? abis Alan bosen makan pasta lagi, nasi goreng lagi, sayur lagi," Sahut Alan.

"Alan, kok ngomongnya begitu?" Tanya Karenina mengusap kepala Alan.

Bu Ambar mengangguk senang dan menyubit pipi Alan gemas. "Enggak apa-apa Mba Nina, pokoknya Bu Ambar akan masakin makanan rumahan yang enak buat Alan."

Karenina tersenyum senang. Ia pun tidak basa basi menolak. Ia hanya lega karena masalahnya selesai.

Semenjak hari itu hubungan mereka menjadi dekat. Hampir setiap hari sepulang sekolah, selain mampir ke rumah Broto, Alan juga mampir ke rumah Bu Ambar untuk makan siang, tak jarang juga Bu Ambar mampir ke Tangerine membawakan makanan dan mengobrol dengan para tamu di sana sambil mengawasi suaminya. 

TANGERINE (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang