KETIKA DUNIA BERHENTI BERPUTAR

39 11 10
                                    


"Bukan sesak hanya karena kepergiannya, tetapi karena dia membawa sebagian dari diriku yang sulit untuk dipulihkan"


     Dalam derasnya hujan, dua mobil saling beradu di persimpangan jalan. Suara metal berdenting menyatu dengan gemuruh, dan sinar lampu kendaraan yang pecah menyoroti pecahan kaca dan asap. Mobil Honda Jazz merah melaju sangat kencang hingga menabrak Mobil Suzuki Swift putih milik Bayu yang melaju dengan kecepatan normal. Malam itu pemandangan cukup mengejutkan banyak orang. Kepala Bayu sang suami tertunduk pada kendali kemudi dan tidak sadarkan diri, ada darah bercucuran dari kepalanya. Karenina sang istri yang duduk di sampingnya terdiam tertahan oleh sabuk pengaman yang menolongnya. Kening dan kepalanya berwarna biru dan mengeluarkan darah akibat benturan hebat dengan jendela di sampingnya merasakan dampak kecelakaan yang mendalam. Alan seorang bayi usia 2 tahun di kursi bayi belakang menangis terkejut penuh ketakutan, memanggil-manggil mamanya. Padahal mereka baru saja bersenang-senang, menikmati makan malam bersama di salah satu hotel ternama Kota Jakarta.

Hati Karenina dipenuhi kecemasan, ia berusaha memanggil-manggil nama suaminya berharap suaminya akan sadar. Penglihatan Nina tiba-tiba menjadi kabur lalu ia pun tidak sadarkan diri, ia sama sekali tidak menyadari bahwa momen ini akan menjadi batu loncatan menuju perjalanan yang tak terduga.

**

"Nina! Nina!"

     Keesokan harinya, Nina perlahan membuka mata terbangun dari ketidak sadarannya. Ia merasakan nyeri yang sangat di area punggung akibat guncangan kecelakaan malam itu. Nina mengenali suara yang tidak ramah, berulang-ulang memanggil namanya, dan mengguncang-guncang tubuhnya.

"Nina! Nina!" Ibu Nova, mertua Karenina mencoba membangunkan Nina dengan kasar dan terburu-buru.

"Alan..?! Mas bayu?!" Nina terduduk dari posisi tidurnya dengan infus masih menempel di tangan. Matanya berkeliling, lalu ia mencoba turun dari kasur mencari anak dan suaminya. Namun Bu Nova mencegahnya, menahan tubuh Nina dengan kasar.

"Alan baik-baik saja disana. Lihat!" Bu Nova menolehkan kepalanya ke arah Alan yang ada dalam ruangan yang sama dengan mereka.

Nina seketika lega melihat Alan dengan perban kecil di kepalanya sedang bercanda dengan Saskia Sahabatnya.

"Mas Bayu gimana bu?" Nina bertanya. Ia terlihat khawatir karena tidak melihat suaminya dalam ruangan.

Tiba-tiba muncul ingatan terakhir di kepalanya. Nina melihat Bayu tidak sadarkan diri pada kemudi setir dengan darah yang bercucuran.

"Bayu koma Nina! ini semua gara-gara kamu! sok-sokan makan malam di hotel mahal!" Ibu Nova geram, marah, dan sedih.

Ibu Nova memang tidak pernah merestui hubungan Bayu dan Karenina semenjak mereka mulai pacaran, setelah ia mengetahui Karenina adalah seorang anak yatim piatu. Ibu Nova dan Suaminya adalah pengusaha besar yang terkoneksi dengan instansi pemerintahan, jadi Bu Nova juga ingin memiliki besan yang berasal dari keluarga terpandang untuk memperkuat posisinya.

"Ini adalah terakhir kalinya saya minta sama kamu, untuk pergi meninggalkan Bayu!" Tegas Bu Nova, raut wajahnya penuh kemarahan namun cara bicaranya tetap elegan.

"Bu?!" Suara Karenina bergetar dan memelas dengan mata berlinang, ia menggenggam tangan Bu Nova tetapi Bu Nova langsung menepisnya.

"Peringatan terakhir Nina! Hidupmu tidak akan bahagia di sini. Bayu tidak pantas untuk kamu, he deserve more!" Kata Bu Nova kesal.

"Kamu lihat! tidak ada kasih sayang di antara kita, I am not happy with this! Kamu hanya membuat Bayu menjadi seorang pembangkan terhadap orang tuanya. Kamu mau ia menjadi anak yang durhaka?!" Bibir Bu Nova bergetar dengan intensitas yang mencerminkan kegusaran yang mendalam, matanya membesar seperti letupan gunung berapi yang siap meletus.

Air mata Nina meluncur perlahan dari sudut mata yang sayu. Wajahnya yang penuh dengan kelembutan kini dihiasi oleh bayangan kesedihan yang tak terkendali.

Tubuh Bu Nova tegang, tangannya mencengkeram erat sesuatu. Ia melempar lima buah amplop tebal yang berisi uang lembar seratus ribuan tepat di ranjang Nina.

"Bawa Alan pergi jauh, dan jangan pernah kembali!" Kalimat terakhir Bu Nova sambil melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Detak jantung Nina terdengar melankolis, seperti lagu sendu yang mengalun di dalam dada. Suara helaan nafasnya terputus-putus, berusaha menahan derasnya air mata yang tak henti mengalir. Pada saat itu, pandangan matanya memancarkan kekosongan, sebagai cermin dari hatinya yang hancur. Setiap getaran tangisannya terasa sebagai kepingan kepedihan yang terlempar ke dalam kegelapan, meresap ke dalam jiwa setiap orang yang menyaksikannya.

Saskia menghampiri Karenina, ia pun tak kuasa menahan air mata dan memeluk sahabatnya.

**

     Sementara itu dalam ruangan VVIP yang mewah pada rumah sakit yang sama, Bayu terbaring tanpa gerakan, wajahnya pucat dan tanpa ekspresi, detak jantungnya yang sebelumnya penuh kehidupan, kini terdengar lemah dan teratur melalui bantuan mesin penyokong kehidupan.

"Urus kepulangannya! Rawat Bayu dengan intensif di rumah, dan jangan biarkan seorang pun menemuinya!" Perintah Bu Nova pada asisten pribadinya.

**

     Saat kondisi punggung Nina sudah cukup membaik untuk berjalan, ia menelusuri lorong lantai VVIP untuk mengunjungi kamar suaminya. Perasaannya seperti aliran sungai yang mengalir tak terbendung dan terus memenuhi rongga hatinya dengan kerinduan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Karenina membuka pintu bertuliskan 202 VVIP, ia mendapati sebuah kamar yang gelap dan sunyi. Kekosongan kamar itupun merambat masuk ke dalam hatinya yang pilu. Nina terduduk menelungkup bersandar pada pintu kamar pasien berwarna coklat muda. Air matanya mengalir deras.

Dari sudut lorong seorang pria bertubuh tegap dan berkacamata bulat memperhatikan Nina dengan raut wajah sendu dan perasaan yang teramat sedih serta perasaan bersalah. Pria itu berjalan menghampiri Nina sambil membawa tiang infus dengan jarum yang masih menancap pada tangannya.

"Mbak, saya minta maaf yang sedalam-dalamnya, saya turut berbela sungkawa," Ucap pria itu. Nadanya lirih dan kecewa pada diri sendiri karena mengira pria yang ditabraknya itu telah meninggal dunia.

Nina berdiri tanpa mengangkat wajahnya, ia terus menunduk menyembunyikan air matanya dan pergi berlalu meninggalkan pria itu tanpa sepatah katapun.

TANGERINE (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang