17. Hanya Anak Angkat?

49 6 0
                                    

Alya pulang dalam keadaan yang sedikit tidak mood. Pikirannya bercabang, hatinya belum tenang.

Kalau patah hati sesakit ini, mungkin Alya akan melanjutkan langkahnya mundur sejak lama. Namun, jika sudah seperti sekarang ia bisa apa?

Alya harusnya menangis dan menyalahkan tuhan bukan? Semakin hari berat badannya naik tidak ada perubahan. Hatinya makin bergemuruh saat tahu segalanya menjadi rumit sekali. Ia tidak bisa melupakan Asta semudah itu.

Saat masuk ke dalam rumah pun yang menyambut hanyalah kesinisan. Satu keluarga seperti mengasingkan Alya secara perlahan. Mereka tidak mengagap Alya salah satu bagian rumah ini, tapi Alya adalah pembantu gratis sekaligus pengurus rumah tangga karena hampir seluruh urusan rumah Alya yang kerjakan.

"Duduk!" tintah sang ibu yang terdengar serius.

Alya tidak membatah, ia dengan patuh mendudukan dirinya di kursi yang kosong di meja makan. Alya sempat curi padang kepada adiknya yang terlihat sesegukan menangis.

Tidak mungkin ibunya akan marah kepada Jinny, kan. Anak bungsu yang paling disayangi karena kelahirannya dikatakan sebagai anugrah.

Namun, saat Alya sibuk berpikir, ibunya membuka suara dengan nada agak keras.

"Lihat adik kamu!" ucap ibu tegas, menyadarkan Alya untuk memperhatikan ibunya juga. "Gara-gara kamu, Jinny jadi bahan bully di sekolahnya!"

"Apa?" tanya Alya agak tidak terlalu paham. Ia juga kaget, kenapa dirinya disebut sebagai penyebab?

Ibunya yang tidak tahu kalau Alya binggung malah lanjut memarahi anak sulungnya itu. "Gara-gara kamu gendut, teman-teman Jinny mentertawakannya karena memiliki kakak yang gendut. Mereka juga menuduh Jinny anak pungut karena memiliki saudara yang berberda dengannya!"

Alya hanya menghela napas, matanya seketika memanas karena hatinya memang sudah sensitif sejak pulang dari sekolah. Namun, sekuat tenaga Alya menahan air matanya agar tidak jatuh, untuk mendengar lebih lanjut.

"Alya tidak pernah mengumumkan kalau Alya adalah adik Jinny, tapi kenapa semua jadi salah Alya?" Suara Alya agak serak, menahan agar tidak menangis.

Melihat Alya yang melawan, ibunya mengagap itu adalah perlawanan, jadi dia lebih keras sekarang.

Kelani dengan marah berdiri dari duduknya. "Kamu ikut lomba itu, banyak orang yang membicarakannya sampai orang-orang tahu siapa kamu! Kalau saja Jinny semalu itu punya Kakak gendut serta jelek seperti kamu, bagaimana dengan ayah dan ibumu nanti, hah?!" beberapa kali Kelani mengebrak meja, menyebabkan meja Makan tidak lagi tenang.

Brama yang melihat itu jelas tidak bisa diam, ia mengelus pundak istrinya dan menyuruhnya duduk lagi. Sementara Alya sudah tidak tahan lagi, ia terisak pelan karena itu adalah perkataan yang paling sakit. Walaupun sudah sering, Alya tidak akan pernah terbiasa.

Sekarang gantian Brama yang ikut menatap tajam, membuat Alya sudah terjebak dalam kumbangan luka seorang diri tanpa pernah ada bantuan.

Helaan napas kasar Brama menjadi alarm bahaya untuk Alya, tapi ia masih memilih diam sambil menghapus air matanya. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi bukan?

"Hentikan semuanya sampai ini, kita bisa mengatakan kepada media kalau anak itu kita ambil dari panti asuhan," enteng Brama yang sepertinya sudah lelah dalam situasi seperti ini.

Alya pun hanya bisa membelalak kaget mendengar pernyataan sang ayah. Jauh lebih tajam dari lidah ibunya, sang ayah tidak pernah kenal ampun jika sudah marah kepada Alya.

Padahal kali ini bukan salah Alya bukan?

Alya tidak tahan langsung berdiri dari duduknya. Sudah lelah Alya rasanya jika berada dalam keluarga seperti ini.

Namun, saat mau pergi, kata-kata ayahnya membuat Alya meremas dadanya yang semakin sakit.

"Kamu memang anak angkat, kami terpakasa mengadopsi anak sebagai pancingan. Tapi lihat sekarang kamu tidak memberi dampak yang bagus untuk keluarga kami."

In Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang