#33 Arkana

1.6K 157 30
                                    

Setiap hari, seperti ritual yang telah menjadi bagian dari rutinitasnya, Arka selalu menyapa Ana dengan semangat,

"Selamat siang, cantik." Sambil membawa  setangkai bunga mawar di balik jaket denimnya—sebuah tradisi yang telah berlangsung selama dua minggu.

Ya meskipun bunga itu selalu berakhir di tempat sampah.

Ana, meski sudah terbiasa dengan kedatangan Arka, masih mendengus ketika melihatnya datang. Karena dia tahu, Arka akan segera berkata,

"Ayo belajar" dengan wajah galaknya, yang bagi Ana, adalah suatu hal yang tak bisa ditolak, mengingat sifat Arka yang pemaksa.

Pada akhirnya Arka mulai mengajarkan Ana di atas brankar, sebuah inisiatif yang diambilnya sendiri. Dia sangat khawatir akan pendidikan Ana yang terancam tertinggal jauh dari teman-temannya, terutama dengan ujian sekolah yang semakin dekat.

"Aduh... pusing banget," keluh Ana, sambil tidak sengaja menarik sedikit infus yang terpasang di tangannya.

"bisa," ungkap arka singkat.

Arka kembali menjelaskan materi matematika dengan kesabaran yang tampak tak berujung, terus mengulang pelajaran meski Ana terlihat kesulitan memahaminya.

Meski kadang Arka merasa frustasi dengan kesulitan Ana yang seolah hanya memikirkan makan, dia tidak menyerah. Terkadang, dia bahkan harus mencubit hidung Ana agar dia bisa lebih fokus pada pelajaran.

Namun, Ana tetap mendengarkan Arka dengan penuh perhatian, berusaha menyerap setiap kata yang dia ucapkan. Walaupun Ana tau kapasitas otaknya sedikit berbeda dengan Arka.

selang beberapa jam kemudian, suasana belajar mereka terganggu oleh kedatangan teman-teman Ana. Vanessa, Ica, Nino dan Stefan muncul dengan semangat yang menggebu.

"Ana sayanggggg..." teriak Vanessa sambil langsung memeluk Ana.

"Gimana? Udah mendingan?" tanya Ica dengan penuh kepedulian.

Ana masih berusaha mengingat dan membiasakan diri dengan kehadiran mereka.
"Udah lumayan kok," jawabnya dengan senyum simpul.

disisi lain Arka tidak bisa menyembunyikan kekesalannya saat proses belajar Ana terganggu.
"Ck, ganggu," celetuknya.

"Lo jahat banget sih, orang sakit malah disuruh belajar matematika," kata Vanessa, membela Ana. "Mending kita main sebentar yuk, ke taman."

Mendengar itu, mata Ana berbinar, penuh dengan antusiasme. "Wahhh... mauuu!"

Namun, Arka langsung melarang, "Belajar lo belum selesai."

"Arka," rengek Ana, wajahnya berubah cemberut.

"satu materi lagi, ya," Arka mencoba bernegosiasi, sambil mengelus pucuk rambut Ana dengan penuh kasih.

"Gak mau... nanti udah main, baru belajar lagi. Boleh ya?" Ana mencoba merayu.

Akhirnya, Arka menghela nafas berat dan menyerah, "Yaudah."

Dengan senyum lebar, Vanessa dan Ica, bersama Nino dan Stefan yang juga telah bergabung.

Arka dengan hati-hati mengangkat Ana ke kursi roda, memastikan dia nyaman sebelum mereka semua bersama-sama menuju taman, membawa Ana keluar untuk menikmati sedikit kebebasan dan keceriaan di luar ruang empat dinding rumah sakit.

Saat mereka tiba di taman, suasana langsung berubah menjadi lebih cerah dan penuh tawa. Ana, dengan semangat, mulai bermain balon cair bersama Vanessa dan Ica. Sementara itu, Arka, Nino, dan Stefan memilih untuk duduk di pinggir, menikmati momen sambil menyesap kopi yang telah mereka pesan sebelumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MAGNETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang