1 - MPLS

454 28 6
                                    

MPLS Bina Bangsa, salah satu acara tahunan yang wajib diselenggarakan dan selalu dinanti karena setiap tahunnya menghadirkan kejutan baru. Tak ada gertakan atau perundungan yang dilakukan panitia OSIS, yang ada hanya keramaian karena panitia OSIS menyelenggarakan dengan diselingi permainan antar siswa dan panitia. Membuat acara lebih meriah. Bahkan di akhir acara akan ada sebuah festival dengan dihadiri banyak bintang tamu papan atas. Itulah mengapa MPLS Bina Bangsa selalu mendapat sorotan dengan MPLS terbaik sepanjang masa.

Namun sialnya, baru hari pertama Ana sudah terlambat. Angkot yang biasa naiki tiba-tiba saja mengalami mogok di jalan yang mengharuskannya berjalan kaki. Jangan harap dia akan memilih naik taksi, Ana tak mempunyai uang lebih. 

"Maaf, saya terlambat, Kak."

Kakak kelas yang menjaga pagar sekolah terlihat menatapnya dingin. "Lo tahu nggak ini jam berapa?"

"Sekali lagi, saya minta maaf, Kak. Saya benar-benar minta maaf karena terlambat." Ana sempat melirik tanda pengenal panitia OSIS tersebut yang ternyata bernama Harganta Winata. Begitu juga dengan lelaki di depannya yang juga membaca tanda pengenalnya.

"Geraldine Anandita," bacanya. "Apa alasan lo bisa sampai terlambat gini? Bahkan acara pemateri udah mulai dari sejam lalu."

"Tadi angkotnya mogok, Kak. Jadi, saya harus jalan kaki dari tempat mogok sampai ke sekolah," jelas Ana dengan gugup.

"Kalau rumah lo jauh, harusnya lo bisa siap-siap lebih awal."

"Maaf, Kak." Hanya itu yang bisa Ana sampaikan karena memang dirinya yang bersalah. Tak ada pembelaan apapun, Ana yakin dirinya mendapatkan hukuman.

Sebenarnya, Ana merasakan sesuatu aneh dari tubuhnya. Kepalanya seakan berdenyut, napasnya pun tak beraturan. Sepertinya, ini terjadi karena dirinya belum sarapan dan harus menempuh jalan kaki selama kurang lebih tiga puluh menit.

Kakak kelas di depannya juga menatap Ana dengan sedikit khawatir. Wajah Ana tiba-tiba berubah pucat. Dia menjadi tak tega menghukumnya, namun sesuai aturan apabila ada siswa terlambat akan mendapat hukuman. Peraturan itu juga disampaikan saat pertemuan Pra MPLS. Jadi, seharusnya adik kelas ini tahu konsekuensinya. 

"Ayo, ikut gue ke lapangan."

Ana hanya mengangguk lemas dan mengikuti kakak kelas itu melangkah menuju lapangan. Saat berada di lapangan, Ana diminta meletakkan tasnya di tanah dan disuruh keliling lapangan 20 kali. Baginya, hukumannya sungguh berat. Namun bagaimana lagi, ini juga salahnya. 

Perempuan itu pun mulai berlari keliling lapangan. Belum satu putaran, Ana sudah merasa tubuhnya semakin lemas. 

*****

Arga memantau adik kelas yang kali ini sedang mengerjakan hukumannya. 20 putaran untuk seoarang perempuan adalah hukuman paling ringan yang Arga berikan. Beberapa siswi tadi dia berikan lari keliling lapangan sebanyak 30 kali. Arga hanya tak tega saat melihat wajah pucatnya dan mendengar alasan perempuan itu terlambat. Dia tak bermaksud pilih kasih. 

Lelaki itupun menghubungi salah satu temannya, Rafael, yang juga menjadi panitia OSIS. "Raf, cari tahu siswi yang namanya Geraldine Anandita dapat kelompok berapa?"

"Emang kenapa? Naja juga tadi nyariin tuh anak, karena cuma dia yang belum gabung ke kelompoknya. Naja kan kakak pembimbing kelompoknya."

"Dia terlambat, sekarang lagi gue hukum keliling lapangan 20 kali."

"Dikit amat. Tadi aja ada anak cewek lo suruh lari 30 kali. Oh, gue tahu, pasti anaknya cantik, ya?" goda Rafael di ujung sana.

"Apa sih, Raf. Ntar gue ceritain. Udah deh, bye." Arga memutuskan sambungan teleponnya dengan sepihak. Pasti setelah ini Rafael akan bercerita kepada teman-temannya. Dia mendengus sebal, menyesal telah bertanya kepada temannya itu. 

Sesaat setelah itu, dia kembali memantau perempuan itu. Namun, tak lama, lari perempuan itu kian melemah. Hingga akhirnya, dia terjatuh di lapangan. Arga segera berlari mendekati perempuan itu dan membawanya ke UKS. 

*****

Bau minyak kayu putih menyebar di seluruh ruangan. Membuat Ana tersadar dari pingsan. Matanya menelisik ruangan tersebut. Gue ada di UKS, batinnya. Kepala Ana masih berdenyut akibat tak ada satupun makanan yang masuk pagi ini, ditambah serangkaian kejadian yang terjadi. Ana menghela napasnya. Jika begini terus, dirinya akan sakit dan tak bisa bekerja demi mamanya di rumah sakit. 

Saat dirinya bangun dari tidurnya, seseorang mendatanginya. "Istirahat aja. Gue udah izinin lo ke panitia sampai istirahat pertama," ucapnya lalu memberikan sebuah roti dan air mineral.

Ana menoleh ke arah sang penolongnya. Dia bertatap bingung saat melihat apa yang diberikan kakak kelas itu. Merasa tak ada tanggapan, lelaki itu berkata lagi, "buat lo. Dimakan. Gue tahu lo belum sarapan, makanya tadi pingsan di lapangan," jawabnya. 

"Terima kasih banyak, Kak. Saya minta maaf udah ngerepotin Kakak."

Kakak kelas itu menarik kursi yang ada hingga berada di depan brankar. "Panggil aja, Arga," ucapnya kemudian. 

"Oh ya, Kak Arga," ucap Ana. "Kalau saya sudah baikan, saya lanjutin hukuman saya, Kak."

"Nggak perlu. Gue nggak setega itu sama orang."

"Oh ya, ini berapa, Kak? Biar aku ganti."

"Nggak usah. Itu dapat dari panitia konsumsi."

Ana hanya mengangguk paham. Dia pun segera memakannya karena dirinya benar-benar lapar, tak memedulikan Arga yang mengawasinya dari jarak dekat ini.

Selesai memakan roti itu, Ana merasa tubuhnya sedikit membaik dari sebelumnya. Dia pun menoleh ke arah Arga yang sedari tadi menatapnya. Tatapannya sungguh dingin, bahkan tak ada senyum yang terpatri dari wajahnya. Tanpa banyak berbicara, Ana mengambil sebuah kartu kecil yang dia buat sewaktu-waktu bertemu dengan orang baik. Kartu itu berwarna merah muda yang sudah dilaminasi dan bertuliskan "Aku akan balas kebaikan kamu!". Dia menyerahkan kartu permintaan itu kepada Arga. 

"Buat Kak Arga."

Lelaki itu menerima kartu tersebut, yang jujur menurutnya agak aneh. "Apa ini?"

"Itu kartu permintaan. Biasanya saya kasih ke orang yang udah nolongin saya. Nah, karena Kak Arga udah nolongin saya, jadi saya kasih Kakak kartu ini. Biar sewaktu-waktu kalau Kak Arga butuh bantuan, saya bisa bantu Kakak."

"Apa aja?"

Ana mengangguk. "Apa aja. Asal nggak merugikan saya, nggak melanggar hukum, masuk akal, dan ramah di kantong," jawabnya dengan senyumnya yang lebar.

Arga tersenyum tipis melihat senyuman Ana. Dia menoleh kembali ke kartu tersebut. Imutnya, batinnya. Kartu ini suatu saat pasti akan dia gunakan. Pasti dan harus agar dia mempunyai alasan untuk mendekati perempuan tersebut. 

"Apa istirahat pertama udah selesai, Kak?" tanya Ana membuat Arga kembali tersadar dalam diamnya. 

Arga menyimpan kartu tersebut di sakunya sambil melihat jamnya. "Sisa lima menit lagi."

"Kalau gitu, saya ke aula, ya, Kak. Saya mau nyari kelompok saya, Kak."

"Bareng gue, kebetulan kakak pembimbing kelompok lo itu temen gue."

Arga pun mengantar perempuan itu ke aula, tempat acara MPLS berlangsung. Koridor sekolah ini terlihat sepi. Hanya beberapa panitia OSIS yang mondar-mandir dan menyapa Arga. Wajar, semua peserta MPLS berada di aula, jadi yang terlihat hanya panitia. 

"Kalau ngomong sama gue nggak usah pakai 'saya'. Kaku banget."

Ana yang sibuk memandangi lingkungan sekolahnya kemudian menoleh ke samping. "Kan bentuk sopan, Kak."

"Pakai 'aku-kamu' lebih baik," balas Arga. "Btw, lo dipanggilnya apa?"

"Ana, Kak." Arga hanya mengangguk-angguk. 

Perempuan itu kembali terdiam dan memandangi sekitarnya. Sejujurnya, menjadi bagian dari SMA Bina Bangsa adalah harapan semua orang. Dari segi apapun, sekolah ini selalu mendapat unggul dibanding sekolah lain. Makanya, semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan sebuah kursi di sekolah ini. 

Sesampainya di aula, Arga meneliti setiap panitia yang berada di kelompok peserta. Matanya tertuju pada sebuah lambaian tangan yang berada di tengah aula. Itu temannya, Naja. Kemudian, Arga berjalan melangkah masuk, mengantar Ana.

*****

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang