18 - Tired

268 20 6
                                    

Hati Ana mencelos melihat sikap Arga yang hampir sama dengan Juan, mantannya. Lihatlah, dia bersikap seperti ini tapi tak ingin disamakan dengan mantannya. Apa maksudnya? Dirinya tak salah. Arga memang mempunyai sifat yang sama seperti Juan.

Ana pun mendorong tubuh Arga. Perempuan itu tak takut dengan Arga walau dengan ancaman yang dia lontarkan. Selama Arga tidak melakukan kekerasan, Ana masih berani padanya.

Walau, tak bisa dipungkiri. Rasa takut itu kembali muncul dalam pikirannya.

"See? Kamu bahkan nggak bisa ngehargain keputusan aku. Mana yang katanya bakal selalu nungguin aku? Mana yang katanya peduli tentang aku? Kamu nggak pegang omongan kamu sendiri, Kak."

Tatapan tajam dari Arga menusuk penglihatannya. Arga masih dengan sikap dinginnya. "Mulai detik di mana lo menganggap gue sama seperti mantan lo, gue berubah pikiran, Na. Gue bakal membuat lo paham kalau gue bukan dia. Dan satu lagi, gue bakal bikin lo jatuh cinta sama gue."

"In your dream, Kak! Hidup aku sudah sulit dan hancur, tolong jangan tambah bikin kacau lagi, Kak."

"Enggak akan. Sejak lo hadir di sekolah ini, gue sudah tertarik sama lo. Maka lo harus terima konsekuensinya, Ana."

"Bajingan kamu, Kak! Kalau dari awal kamu seperti ini, aku bakal mencari seribu cara untuk jauhin kamu."

"Dan gue bakal melenyapkan seribu cara lo itu untuk terus deketin lo." Arga tersenyum miring. Dia kemudian maju satu langkah di depan Ana. Lelaki itu mencodongkan kepalanya kepada Ana untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan Ana. Tangannya meraih dagu Ana agar perempuan itu dapat menatapnya. "Sekarang, gue udah di tahap gila untuk dapatin lo, Ana. Sudah cukup seminggu ini untuk gue membangun image cowok baik untuk lo. Ke depannya, nggak akan ada Arga baik lagi di depan lo. Tapi dengan catatan, kalau lo nggak menurut perintah gue, Na."

Ana pun melepaskan tangan Arga. Matanya menyalang tajam dan marah kepada lelaki itu. "Kalau gitu bagus, Kak. Aku nggak perlu capek bermuka dua dengan bersikap baik di depan kamu. Jangan harap, kamu bisa bikin aku jatuh cinta. Karena detik ini, aku benci kamu, Kak."

Dia pun langsung mendorong Arga untuk menjauh darinya dan pergi ke manapun asal tidak bertemu Arga. Lelaki itu tak mengejarnya. Dia membiarkan Ana pergi.

Arga menatap punggung Ana yang mulai menjauh dari pandangannya. Keputusan Arga sudah bulat. Ana harus menjadi miliknya. Bagaimanapun caranya dan apapun hambatannya.

Arga tak peduli dengan Ana yang belum bisa menerimanya. Yang penting, Arga mendapatkan apa yang dia mau.

Sebut saja Arga gila. Karena dia tak mau, Ana berpaling hati ke yang lain.

*****

Ana sampai di UKS yang tak jauh dari kelasnya. Rasa pusing dan mual melanda tubuhnya karena memikirkan ucapan Arga tadi.

Dia pun izin kepada dokter di situ dan dokternya pun dapat melihat wajah pucat dari Ana. Dokter Hanum, namanya. Dokter itu memeriksa keadaan Ana, lalu memberi Ana obat. Kemudian, menyuruh Ana untuk istirahat.

Dokter pun mencatat identitas dan keluhan Ana untuk diantarkan ke kelasnya sebagai surat izin Ana tidak mengikuti pembelajaran.

Saat UKS sudah kosong. Ana menumpahkan tangisannya. Ana lelah, tentu saja. Baru saja dia ingin mempercayai lelaki itu, ternyata sudah dipatahkan duluan oleh ucapan gila Arga.

Rasanya, Ana tak sanggup melewati hari bersama Arga.

Hidupnya sudah berantakan karena mantannya. Ditambah dia harus bekerja keras untuk menyelamatkan mamanya. Sekarang, dia harus menerima kenyataan bahwa dekat dengan Arga adalah keputusan yang salah.

Suara deringan ponsel membuatnya tersadar kembali. Dia menghapus air matanya, setelah membaca nama yang tertera.

"Halo, Pa," sapanya dengan gembira. Walaupun ada perasaan kikuk, tapi sepertinya dia harus terbiasa dengan situasi seperti ini.

"Are you okay? Suara kamu seperti habis menangis, Sayang. Kamu kenapa?"

Jujur, Ana masih menjadi perempuan lemah. Ditanya seperti itu, runtuh kembali air matanya dengan munculnya memorinya tadi bersama Arga. "N-nggak papa, Pa."

"Kamu masih di sekolah kan? Mau Papa jemput? Biar nanti Papa izinin kamu."

"Nggak usah, Pa. Ana baik-baik aja, kok."

"Jangan berbohong sama Papa, Ana. Papa nggak suka. Jelas sekali kamu habis menangis. Kamu di mana? Nggak mungkin kamu di kelas tapi bisa angkat telepon Papa."

"D-di UKS, Pa."

"Ya Tuhan, tunggu Papa. Sebentar lagi Papa jemput kamu."

Apa boleh Ana mengharapkan pelukan dari Papa angkatnya? Dia butuh seseorang untuk menenangkan dan menguatkannya.

Dia butuh pelukan seorang ayah untuk memberi tempat sandaran bagi anak perempuannya.

*****

"Sudah jadi jagoan kamu bisa membuat anak saya menangisi kamu?!"

"Om, ini kan bagian dari rencana Om. Om sendiri yang pengen aku tembak dia."

"Itu cuma sandiwara! Om sudah bilang, jangan dipaksa kalau dia nggak terima. Kita cuma memotret angle terbaik untuk dikirim ke cowok sialan itu. Tapi, kamu malah membuat dia menangis. Kurang ajar!"

"Nasi sudah jadi bubur. Aku bakal bertanggung jawab kok, Om. Tapi, aku nggak bakal lepasin dia gitu aja. Aku cinta sama dia, Om."

"Kalau kamu cinta, kamu nggak akan bikin anak saya nangis. Kamu malah mengingatkan dia seperti mantan psikopatnya itu!"

"Aku bukan dia dan selamanya akan terus seperti itu! Kenapa sih Om atau dia nggak bisa percaya kalau aku nggak sama seperti mantannya itu?!"

"Kalau gitu buktikan ke saya! Saya butuh bukti bukan omong kosong doang! Sekali lagi kamu bikin dia menangis, saya pastikan kamu nggak akan pernah melihat anak saya lagi!"

*****

Hayoloh, siapa tuh yang dimarahin? 😁

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArganaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang